Bhinneka Tunggal Ika,
kajian pustaka tentang
MENGembalikan identitas bangsa DEMI MENJAGA Indahnya Pluralisme DIBALIK BAHAYA Ancaman
Disintegrasi
I Gede
Suputra Widharma
Jurusan
Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bali,
Kampus
Bukit Jimbaran, Badung, Bali
Abstrak:
This literature study
of our nation motto, Bhinneka Tunggal Ika, show that how important sense of
belonging in our country. Indonesia is country with thousands islands, races,
culture, languages, and religions. But, bhinneka can be like sword with its two
shapes. In one shape that mean pluralism is so exotic and be able to give
advantages for this country. But in another shape, bhinneka is identified with differences.
Disintegration is latent dangerous that wait for our careless with bhinneka.
Solving this problem
(disintegration) are using sense of tolerance, good-will our elites, and the last but the most
important is back to bhinneka for nation identity.
Keywords:
Bhinneka, pluralism, disintegration, tolerance, identity
I.
Pendahuluan
Bhinneka
Tunggal Ika tertulis slogan bangsa pada pita yang
dicengkram kuat oleh Burung Garuda, kata-kata sakti yang diambil oleh founding fathers dan mothers kita dari warisan
leluhur kita pada masa kejayaan nusantara lama. Semboyan
Bhineka Tunggal Ika diambil dari mahakarya Mpu Tantular dari konsep teologi
Hindu yang berbunyi, “Bhina ika tunggal ika, Tan Hana dharma mengrawa”, yang
artinya, Berbeda-beda Dia, tetapi satu adanya, tak ada ajaran yang
menduakannya. Sosok Mpu Tantular
yang seorang pendeta Budha dan sangat terbuka terhadap pemeluk agama lain,
terutama Hindu-Siwa. Artinya bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama
mempraktekkan hidup toleran terhadap pluralitas yang inheren. Kehidupan yang
seperti itu menjadi tradisi dan menjiwai setiap anggota dalam masyarakat kita.
Hal itulah yang merupakan sendi dari keberadaan bangsa Indonesia yang plural. Bhinneka Tunggal Ika mengandung arti
yang sangat dalam bagi negeri ini. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga, berbeda
pulau, suku bangsa, bahasa, agama, tapi tetap satu bangsa satu bahasa satu
Indonesia. Namun bagaikan dua sisi mata pedang,
kebhinnekaan pada satu sisi bisa menjadi sebuah potensi yang dapat mengantarkan
kejayaan.

Dengan
berbagai keragaman yang terdapat di Indonesia, jika diolah dengan baik akan
menciptakan kehidupan indah yang penuh dengan warna di dalam satu kesamaan
yaitu di bawah naungan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan asas
Pancasila. Sementara itu, pada sisi lain kebhinekaan tersebut jika tidak
dikelola dengan baik justru dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Rainer
Forst dalam Tolerance and Democracy
berpendapat tentang toleransi yang dikutip oleh Zuhairi Misrawi, yaitu konsepsi
yang dilandasi pada otoritas negara (permission
conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk
membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conseption). Dua bentuk toleransi yang ditawarkan oleh
Rainer Forst, penulis lebih tertarik menggunakan toleransi respect conseption. Bentuk toleransi yang kedua tersebut
menghadirkan toleransi dalam kehidupan masyarakat secara kultural. Dan hal ini
lebih tepat jika diberlakukan di Indonesia. Jika menggunakan bentuk pertama, permission conception, dikhawatirkan
digunakan untuk menekan “kelompok” yang “tidak disukai” oleh mereka yang
berkuasa dan terkesan hanya sebuah kontrak hitam di atas putih. Selain itu,
tidak semua masyarakat dapat mengetahui, memahami, apalagi jika ditambah tidak
ada sosialisasi dari pemerintah. Bentuk toleransi yang kedua, bisa diterapkan
sesuai dengan local wisdom setiap
wilayah. Hal ini bisa menghidupkan kembali berbagai local wisdom yang telah mulai dilupakan oleh masyarakat. Local wisdom yang diterapkan “harus”
selalu dimaknai ulang (re-interpretasi) sesuai dengan keadaan masyarakat. Jika
tidak, masyarakat akan beranggapan bahwa local
wisdom tersebut sudah tidak relevan lagi diterapkan dalam masyarakat dewasa
ini. Michael Walzer memandang toleransi sebagai sebuah keniscayaan dalam ruang
individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun
hidup damai (peaceful coexistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat dari
pelbagai latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas. Dalam konteks
keindonesiaan, “Bhineka Tunggal Ika”, yang secara politis dan geografis bermakna
”bermacam ragam etnis yang hidup di kawasan nusantara, tetapi memiliki satu
tujuan yang sama”, sementara secara teologis bermakna “Sumber Kebenaran hanya
satu, meskipun manusia mengungkapkannya dengan cara yang berbeda-beda” bisa
dijadikan dasar untuk membangun toleransi. “Kesadaran” akan adanya berbagai
kelompok, etnis, agama yang ada dalam kehidupan ini, meniscayakan sebuah sikap
menerima dan menghargai mereka.
Seperti
yang disampaikan oleh Zaltmann bahwa ada tiga strategi dalam proses perubahan masyarakat, yakni :
A) Strategi empiric rational
Strategi ini membawa perubahan
dengan informasi atau dengan data-data tentang suatu obyek, seperti melalui
publikasi, ataupun sosialisasi.
Yang termasuk dalam strategi ini adalah sosialisasi 4 pilar berbangsa, penggunaan media komunikasi dan
informasi sebagai sarana publikasi
nilai-nilai, sosialisasi perangkat peemerintah terkecil di lingkungannya, mendorong keluarga dalam penanaman nilai-nilai toleransi.
B) Strategi normative
re-educative.
Pada dasarnya strategi ini membawa perubahan dengan mengubah norma-norma yang dianut oleh
masyarakat.
Menuangkan dengan implisit ataupun eksplisit tentang 4 pilar berbangsa dalam produk peraturan perundang-undangan, menggunakan pendidikan dan institusi keagamaan sebagai sarana pengubah norma, mengadakan pertemuan-pertemuan informal ataupun non
formal dengan kelompok masyarakat, kelompencapir, PKK, Koperasi, dan lain-lain.
C) Strategi power - coercive.
Perubahan dapat terjadi dengan
adanya kekuasaan.
Strategi ini berhubungan dengan
kebijakan yang diambil oleh pihak yang mempunyai kekuasaan seperti Pemerintah.
Disini tindakan sigap dan tegas aparat dalam menjaga kerukunan umat beragama
dan menindak setiap pelaku yang mencoba mencederai hal tersebut.
Indonesia
mempunyai ribuan pulau yang tersebar di daerah khatulistiwa. Jalur pegunungan
yang membujur di setiap pulau, membentuk lahan yang subur, udara yang sejuk dan
nyaman serta panorama yang indah. Oleh karena itu, kepulauan Indonesia dijuluki
denganuntaian zamrud di khatulistiwa. Tiap pulau dihuni oleh berbagai
suku dengan budaya yang berbeda. Mozaik budaya tersebut merupakan potensi yang
siap untuk dikembangkan. Indonesia
merupakan bangsa yang majemuk. Kebhinekaan itu dapat dilihat dari 2 sudut :
1. Secara horisontal menunjukkan adanya
perbedaan, tetapi tidak adanya tingkatan seperti perbedaan berdasarkan
fisik atau ras, perbedaan suku bangsa, agama dan jenis kelamin;
2. Secara vertikal, yaitu perbedaan yang
menunjukkan adanya tingkatan seperti tingkatan pendidikan dan pendapatan.
Kemajemukan Bangsa Indonesia disebabkan oleh 3 faktor,
yaitu :
1. Latar belakang historis;
2. Kondisi geografis; dan
3. Keterbukaan terhadap budaya luar dan asing.
Perbedaan
tampak dari adanya berbagai jenis budaya, adaptasi terhadap lingkungan, dan
perkembangan teknologi. Walaupun berbeda Indonesia mempunyai persamaan, yaitu
umumnya berasal dari satu nenek moyang, bahasa yang dipergunakan berasal dari
satu rumpun, dan dari sudut budaya menunjukkan adanya persamaan, yaitu
berdasarkan tradisi dan ikatan keluarga. Kekayaan yang melimpah telah banyak
menarik bangsa asing untuk menjajah Indonesia. Karena itu, muncul adanya
kesadaran akan persatuan dan kesatuan. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928
Bangsa Indonesia berikrar menjadi satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa.
Keanekaragaman suku bangsa bersatu di bawah kesatuan Republik Indonesia dengan
lambang Garuda Pancasila melalui semboyan Bhinneka
Tunggal Ika, yang artinya persatuan dalam perbedaan.
II.
Metode
Penelitian
Berbeda-beda tetapi tetap
satu juga, berbeda pulau, suku bangsa, bahasa, agama, tapi tetap satu
Indonesia. Namun bagaikan dua sisi mata pedang,
kebhinnekaan pada satu sisi bisa menjadi sebuah potensi yang dapat mengantarkan
kejayaan. Namun disisi yang lain, dapat membelah negara kita seperti kisah
negara adidaya (Uni Sovyet) menjadi pecahan-pecahan tidak jelas yang membawa
kehancuran
Dengan
membawa kajian pustaka, membandingkan dengan harapan yang ada, dan mencari data
factual yang ada di masyarakat, berusaha untuk mencari solusi terbaik bagi
permasalahan ini.
III.
Hasil
Penelitian
Setelah mengadakan
kajian pustaka terhadap kebhinnekaan dan indahnya pluralisme yang tercipta pada
kebhinnekaan ini serta kejadian kekerasan dan tragedi kelabu yang terjadi
selama ini, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Data Peningkatan Angka Kekerasan berbau SARA:
- Tragedi kelabu Mei 1998
terhadap keturunan Tionghoa di Jakarta
- Pertikaian
di Poso dan Maluku antar umat beragama berbeda yang menghancurkan
400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 nyawa melayang.
- Perang etnis antara Suku Madura dan Dayak di
Kalimantan menyebabkan kerugian imateril dan materil yang sangat besar
- Setara
Institute melansir jumlah kekerasan mengusung agama pada tahun 2010 telah
terjadi sebanyak 286 kali di negeri ini, yang cenderung meningkat dibanding 17
kasus pada tahun 2009
- The Wahid
Institute pada tahun 2008, melansir 59 kasus kekerasan yang dilakukan
organisasi masyarakat tertentu dengan dalih agama.
- Moderate Moslem Society
(MMS) mencatat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang
2010. Angka ini naik 30% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus.
- Penyerangan
terorganisir dibantu ormas terhadap penganut agama yang lain terjadi di
beberapa daerah dalam jumlah yang meningkat yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat,
DKI Jakarta, dan Madura.
- Laporan Kapolri Jenderal
Bambang Hendarso Danuri di depan rapat gabungan Komisi DPR RI dan pemerintah
mengungkapkan di tahun 2007 tercatat 10 tindakan kekerasan dilakukan ormas.
Jumlah tindakan kekerasan menurun menjadi 8 di tahun 2008, namun meningkat
tajam menjadi 40 tindakan kekerasan ormas di tahun 2009. Dan di tahun 2010 saja
yang baru berlangsung tengah tahun pertama telah terjadi 49 tindak kekerasan
yang dilakukan ormas.
- Bali Post pada
laporannya menyatakan kekerasan berbau SARA pada penyerangan desa transmigran
Bali oleh penduduk asli yang dibantu ormas di Lampung Selatan, yang
mengakibatkan nyawa melayang, dan ratusan rumah terbakar.
- Gejala disintegrasi yang melanda Aceh, Maluku,
dan Papua dengan dukungan organisasi tertentu dan pihak l;uar.
- Terorisme
yang mengatasnamakan agama menggalang anak-anak muda untuk melakukan tindakan
bom bunuh diri terhadap agama lain.
IV.
Pembahasan
Apa
yang terjadi pada negeri ini yang berakar pada kebhinekaan seperti pada data
diatas, hanyalah kasus per kasus saja dari ratusan juta penduduk Indonesia yang
tersebar pada ribuan pulaunya. Artinya hanya segelintir yang melihat
kebhinnekaan ini dari sisi pedang yang salah. Sedangkan sebagian besar bahkan
jauh lebih besar masih mensyukuri kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kebhinnekaan. Tapi, seperti yang disampaikan oleh tetua kita, yaitu antara
lain:
- menyimpan api dalam sekap, ataupun
- seperti duri dalam daging, ataupun
- seorang makan cempedak semua kena getahnya,
ataupun
- gara-gara setitik nila, rusak susu
sebelanga
Demikian pula halnya dengan akibat segelintir
warga yang dibiarkan akan dapat merambat. Meluas, dan membakar dalam wilayah
yang luas.
Indahnya
Pluralisme
Indonesia
yang luas keseluruhannya hampir 2 juta km2, tersebar di sekitar
khatulistiwa pada lintang 6° LU sampai 11° LS dan 95° BT sampai 141° BT. Indonesia
terdiri
atas 17.667
pulau, dengan mendekati 250 juta jiwa penduduk, lebih dari 1200 suku bangsa
dengan 750 bahasa daerah, dan 6 agama resmi serta lebih dari 240 aliran
kepercayaan. Terletak diantara 2 kontinental, 2 samudra, 2 sirkum pegunungan,
dan 2 garis flora fauna. Berlimpahnya lahan yang subur, udara yang sejuk dan
panorama yang indah, sehingga dijuluki zamrud khatulistiwa. Indonesia merupakan
bangsa yan penduduknya bersifat majemuk atau beragam (bhinneka). Mozaik budaya
di hamparan khatulistiwa ini merupakan potensi besar untuk dikembangkan.
Kalau
negeri jiran yang jauh lebih sedikit keberagamannya mengatakan dirinya sebagai truely asia, maka negeri kita pantas
menyatakan dirinya sebagai truely of the
world. Dengan keberagaman dunia yang dimiliki ini, Indonesia merupakan
bangsa yang plural dan bangsa yang sangat eksotik. Mulai dari
batas timur negeri ini, penduduk Indonesia terdiri dari golongan Papua
Melanesoid yang hitam manis mendiami Papua, Aru, dan Kai. Golongan Mongoloid berdiam
di sebagian besar kepulauan Indonesia, yang memiliki kulit putih sampai sawo
matang. Golongan Weddoid dengan jumlah yang relatif sedikit,
seperti orang Kubu, Sakai, Mentawai, Enggano dan Tomuna. Dan percampuran antara
golongan-golongan ini yang menciptakan negeri ini semakin beranekaragam dari
sisi penduduknya. Serta dengan banyaknya imigran (India, Arab, China, Eropa,
dan lain-lain) yang telah menjadi warga negeri ini. Penduduk dengan berbagai
kesukuan tersebar di seluruh Indonesia yaitu Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak,
Minang, Melayu, Aceh, Bali, Sasak, Bugis, Manado, Makassar, juga anak suku
bangsa seperti Nias, Kubu, Mentawai, Baliage, Asmat, Dani, Tobati, Molof dan
banyak lagi yang lainnya. Masing-masing suku bangsa mempunyai keanekaragaman
adat istiadat, bahasa, dan budaya. Demikian juga agama dan kepercayaan yang
dianut oleh penduduknya. Animisme dan dinamisme adalah
kepercayaan yang paling tua, dan berkembang sejak zaman pra sejarah. Agama
Hindu datang ke Indonesia dari India sekitar abad ke-5 SM dengan bukti
tertulisnya ditemukan di Kalimantan Timur (Kerajaan Kutai) dan Bogor (Kerajaan
Tarumanegara). Kemudian disusul Agama Budha mulai berkembang di Sumatra
(Kerajaan Sriwijaya) dan Jawa (Kerajaan Mataram). Masuknya Agama Khong Hu Cu
bersama kedatangan para pedagang China yang menjalin kerjasama dengan Kerajaan
Sriwijaya hingga Kerajaan Majapahit. Agama Islam datang dari Arab Saudi melalui
Gujarat India sekitar Abad ke-7. Agama Islam menjadi agama terbesar dianut oleh
sebagian besar penduduk Indonesia. Orang Eropa datang ke Indonesia pada awal
abad 20, membawa agama Nasrani (Kristen Katholik dan Kristen Protestan). Belum
lagi ratusan aliran kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh berbagai anak
bangsa semakin menambah indahnya pluralisme di negeri ini.
Begitu
indahnya keanekaragam negeri ini, seperti miniatur dunia yang penuh warna dan
peradaban. Sesuatu yang membanggakan dan daya tarik dunia untuk menjadi the best and the biggest tourism
destination.
Ancaman Disintegrasi
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik. Bangsa yang terdiri atas berbagai ragam suku, agama,
budaya, dan etnis, yang tersebar di berbagai pulau. Kekayaan ini patut menjadi
kebanggaan. Namun, kebanggaan ini menjadi tidak bermakna ketika kebhinekaan
yang ada tidak bisa dikelola dengan baik. Sebab, sifat sektarianisme akan
selalu melekat dalam setiap individu, jika mereka tidak memiliki rasa
nasionalisme yang tinggi. Kesadaran yang utuh akan kebhinekaan yang
termanifestasikan dalam tindakan nyata merupakan kerangka dasar yang akan
menggerakkan rasa nasionalisme yang tinggi. Dengan demikian, kebhinekaan yang
ada dapat terajut dalam ketunggalanika yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila.
Tercatat
dalam sejarah bangsa, kesaktian Bhinneka
Tunggal Ika mulai terongrong sejak krisis multidimensi melanda negeri ini
dan kecenderungan negara yang lelet atau bahkan apatis, sehingga benih-benih
konflik mulai muncul, merebak, hingga meledak seperti bom dengan wilayah yang
luas. Berbagai konflik kekerasan yang terjadi bersifat multidimensi, yang tidak
berdiri sendiri tetapi kait berkait masalah negeri ini seperti benang kusut,
antara masalah agama, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan marginalisasi. Bayang-bayang kelabu tragedi pembantaian etnis
Tionghoa di Mei 1998. Perang Islam-Kristen di Maluku dan Poso yang
menghancurkan 400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 nyawa melayang. Perang etnis
antara Suku Madura dan Dayak di Kalimantan menyebabkan kerugian imateril dan
materil yang sangat besar. Hingga terakhir penyerbuan terhadap desa para
transmigran asal Bali oleh penduduk asli di Lampung selatan. Belum lagi konflik
penyerangan terhadap umat aliran kepercayaan, perusakan rumah ibadah, ataupun
kekerasan terhadap umat beragama. Kini kekerasan sudah menjadi trend
penyelesaian masalah.
Kita tentu sangat prihatin dengan beragam konflik yang
terjadi belakangan ini, yang pada dasarnya disebabkan ketidakmampuan bangsa
merajut persatuan dalam keragaman bangsa Indonesia. Kita kurang menyadari,
bahwa negara ini terbentuk dari beragam perbedaan yang tidak akan bisa berjaya tanpa semangat
persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan bangsa
merupakan harga mati yang harus dicapai demi terciptanya kesejahteraan bangsa
Indonesia. Secara nyata mesti
disadari, bahwa kebhinekaan merupakan fitrah alam Indonesia yang tidak bisa
kita mungkiri. Kiranya pernyataan ini
terkesan klasik. Tetapi, nyatanya hal ini masih belum bisa diimplementasikan
dengan baik, sehingga terus menjadi gurita yang merangkak diam-diam dan siap
menerkam, lalu menjadi persoalan besar bagi kebangsaan kita. Minimnya teladan
yang baik dari para elite negara yang
terkait persatuan dan kesatuan juga menjadi hal yang patut dipertanyakan. Dalam
situasi yang sedang marak konflik, elite politik di parlemen, para wakil rakyat
justru sibuk beradu pendapat dan mengedepankan kepentingan masing-masing.
Sementara kesejahteraan rakyat terabaikan. Sebagai pemimpin yang baik, mestinya
pemerintah dan lembaga tinggi negara yang lain memberikan contoh yang baik,
tidak malah ikut-ikutan larut dalam konflik yang hanya bertujuan menguntungkan
pribadi dan kelompoknya.
Dan
keindahan ini sangat ditunjang dengan besarnya rasa toleransi yang menjadi
bagian dari kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Namun dibalik sebagai rahmat
terindah, dalam keberagaman ini ada marabahaya terburuk jika hal ini tidak
dikelola dengan baik. Untuk itulah selama bertahun-tahun para founding
fathers dan mothers berdialektika untuk merumuskan ke-Indonesiaan
seperti apa yang hendak kita didirikan.
Budaya Toleransi
Substansi
dari sebuah keberagaman adalah perbedaan dan menerima perbedaan sebagai rahmat
Tuhan. Namun tidak semua orang dapat menerima adanya perbedaan dalam
lingkungannya. Sikap chauvinisme
kadangkala lebih menonjol dalam mengatasi
permasalahan tersebut dibanding jiwa besar ataupun rasa keterbukaan terhadap perbedaan
tersebut. Toleransi adalah kata kunci memecah kebuntuan dalam perbedaan.
Toleransi adalah konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk
membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (Rainer Forsf).
Toleransi yang sebaiknya diterapkan sesuai dengan local wisdom/local genius
masing-masing daerah. Mayoritas mengayomi yang minoritas, sedang yang minoritas
menghormat yang mayoritas. Bhinneka Tunggal Ika dalam hal ini bermakna
”bermacam ragam etnis yang hidup di jamrud khatulistiwa ini, tetapi memiliki
satu tujuan yang sama”. Kesadaran akan adanya berbagai kelompok, etnis, agama
yang ada dalam kehidupan ini, menimbulkan sikap keterbukaan untuk menerima dan
menghargai perbedaan tersebut. Menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai identitas
bangsa pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan
berkembang dalam aspek kehidupan bangsa ini, dengan ciri-ciri khas yang
membedakan bangsa kita dengan bangsa lain dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Identitas
bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu. Pengalaman
bangsa di masa lalu mengendap menjadi karakter, sifat, dan nilai-nilai hidup
bersama. Berdasarkan hakikat pengertian tersebut, maka Bhinneka Tunggal Ika ini
tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa atau lebih kepribadian Bangsa
Indonesia. Identitas bangsa yang mewujudkan integrasi nasional. Kesadaran untuk
menerima identitas bansa ini sebagai faktor penguat pondasi berbangsa dan
bernegara sehingga menjadi semakin kokoh. Namun nilai identitas bangsa itu
telah terkikis dan menjadi bartang langka di negeri ini. Masyarakat seperti kehilangan
jati dirinya. Perasaan pentingnya persatuan dalam ke-bhinekaan yang sejatinya
merupakan alasan dasar kita menjadi bangsa Indonesia, namun pada masa Orde Baru
ternyata ke-bhinekaan tersebut justru dianggap sebagai sebuah ancaman yang
terus merongrong kekuasaan. Selama itu pula Orde Baru telah menciptakan
lingkungan yang monolitik, yang tidak mengenal dalam dirinya sifat oposan
bahkan kompetisi terbuka. Dalam konteks ini termasuk pula penolakan terhadap
semua bentuk perbedaan perspektif dan ideologis. Segala bentuk realitas
heterogen diingkari. Hal ini telah melahirkan masyarakat yang tidak memiliki
kemampuan untuk menerima perbedaan yang ada. Perbedaan baik itu agama, ras,
etnis, adalah sesuatu yang demikian melahirkan perbedaan berat, bahkan kecurigaan
yang kehilangan rasionalitas. Setelah tumbangnya orde baru, masyarakat yang
tadinya sudah kehilangan jati diri, berhadapan dengan nilai-nilai lama yang
sudah pudar, tetapi nilai baru belum datang. Ini kondisi yang disebut oleh
tokoh sosiologi, Robert Merton sebagai kondisi Anomie. Salah satu identitas
yang paling parah mengalami destruksi adalah nilai-nilai keberagaman (bhineka
tunggal ika). Masing kelompok ingin menetapkan identitas kelompoknya di tengah
belum kekosongan nilai-nilai. Fakta yang terjadi, masyarakat begitu mudah marah
terhadap saudara setanah airnya sendiri dengan melahirkan peristiwa yang
membuat kita miris.
Selain
faktor dari dalam tersebut, rapuhnya nilai-nilai toleransi juga dipengaruhi
dari luar. Globalisasi menawarkan nilai universal yang harus dianut semua
bangsa. Artinya, tidak akan ada kearifan lokal yang ditawarkan oleh globalisasi
karena merupakan penyatuan budaya yang disebut budaya dunia. John Naisbitt berpandangan dalam era
globalisasi telah terjadi kecenderungan paradoksal.Salah satunya dengan
derasnya trend ke arah terbentuknya kota buana (global city) akibat dari
kemajuan teknologi transformasi dan informatika. Namun sisi lainnya,masyarakat
modern semakin merindukan nilai-nilai dan gaya promordial,terutama pada
romantisme etnis. Bahkan Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras
sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.
Selain itu Arnold Toynbee mengutarakan, kebudayaan akan berkembang apabila ada
keseimbangan antara challenge dan response. Kalau
challenge terlalu besar, sedangkan kemampuan untuk me-response terlalu kecil,
kebudayaan itu akan terdesak. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, justru akan
menumbuhkan kreativitas masyarakat . Saat ini kita bisa saksikan bagaimana generasi muda
kita menghamba pada selera pasar dan budaya-budaya yang dijajakan kapitalisme.
Hal ini dalam jangka panjang akan menggerus kita punya budaya. Nilai-nilai
kolektif jangan sampai digantikan oleh nilai-nilai individualisme. Oleh karena
itu, seperti yang dikatakan Toynbee, kita harus punya kemampuan merespon dan
mengelola budaya-budaya yang masuk dari luar tersebut. Maka, agar tidak
terombang ambing, kepribadian kita harus kuat terlebih dahulu.
Sesudah 13 tahun berlalu, reformasi juga ternyata
belum mampu mengembalikan identitas bangsa yang telah lama diberangus dari
kepribadian masyarakat. Faktanya mulai marak kekerasan berlabel kelompok yang
mengatasnamakan agama.
Dalam
pembukaan UUD 1945 dikatakan “untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial”. Dalam hal ini negara sebagai organisasi yang dibentuk
karena ketidakmampuan orang per orang untuk menyelesaikan masalahnya, harusnya
tampil ke depan sebagai pemecah masalah. Namun, hari ini wajah negara adalah
wajah negara yang abstain. Negara hadir tetapi memilih tidak melakukan
apa-apa.
Terkait
dengan konflik agama, ada beberapa hal yang menjadi titik point untuk mengatasi
problem tersebut. Para elit agama seharusnya bersikap arif dalam melihat
perbedaan dalam penafsiran, sehingga tidak “dengan mudahnya” mengeluarkan fatwa
yang dapat mendiskriditkan kelompok lain. Kemampuan dan keharusan seseorang,
kelompok, organisasi atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan diri
(restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang
terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal
(reasonableness) dan kejujuran (honest). Kelima-limanya dijadikan sebagai acuan
parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum
pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban
sebagian perintah Tuhan.
Para
elit agama seyogyanya tidak membawa “konflik perbedaan” semakin mengemuka. Poin
terpenting adalah bagaimana membawa “perbedaan” untuk menyelesaikan problem
sosial yang semakin hari semakin akut. Problem sosial yang dihadapi bangsa
Indonesia sangat kompleks, dan problem inilah yang seharusnya diatasi. Konflik
identitas agama hanya merupakan bumbu penyedap dari akutnya problem sosial,
sehingga perlu penanganan secepatnya terhadap berbagai problem sosial. Jika
masyarakat hidup dalam keadaan yang aman, sejahtera niscaya berbagai konflik
yang ada dengan sendirinya akan terkikis, walau tidak berarti akan benar-benar
hilang dari muka bumi ini. Tokoh agama sebagai benteng moral juga tidak banyak
berperan dalam memberikan pemahaman kehidupan bermasyarakat yang
benar. Ini akibat derasnya godaan berpolitik sehingga lupa akan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai “penjewer kuping” pemerintah ketika berjalan di jalan
yang salah. Selain itu, tanggung jawab dan pengaruh kepada umat juga
dirasakan semakin memudar. Umat tidak lagi tunduk pada tokoh agamanya, karena
disekitarnya banyak tokoh agama yang justru bermain mata dengan apa yang
diajarkannya. Sedangkan guru bangsa, kini mulai kekurangan stok.
Masalah-masalah kebhinnekaan mencakup tiga hal, yaitu;
masyarakat, tokoh dan negara. Demikian yang disampaikan Romo Franz bahwa dari
sisi masyarakat dan ketokohan, bahwa tradisi yang ramah adalah pondasi penting
yang telah dimiliki masyarakat Indonesia. Fakta akhir-akhir ini, tak lepas dari
kodrat manusia yang memang sempit, sesuatu yang belum diketahui menjadi
dicurigai. Lebih jauh, perubahan dan persaingan menjadikan orang lebih mudah
untuk tidak toleran. Ketakutan akan ketertinggalan dan oleh karenanya
ketertindasan menjadi pemicu menurunnya tingkat toleransi. Oleh karenanya
masyarakat perlu dibantu, baik oleh panutan maupun negara untuk kembali menumbuhkan
sikap-sikap toleransi dalam masyarakat yang belakangan hari ini mulai tergeser
dari tempatnya. Toleransi disini harus dipahami sebagai toleransi aktif bukan
pasif. Jika pasif, maka seseorang sadar dan menerima dirinya dan orang lain
berbeda. Sedangkan toleransi aktif, selain sadar akan perbedaan, juga aktif
dalam memelihara perbedaan tersebut agar tidak menjadi faktor perusak kohesi
bermasyarakat.
Kaum elite sebaiknya semakin sering terjun
(masimakrama) ke masyarakat, untuk mengetahui kondisi di lapangan. Seperti apa
yang dilakukan Jokowi pada warga Jakarta akhir-akhir ini yang menunjukkan
kedekatan elite dengan warganya. Sehingga sosialisasi program kerja juga pilar
bangsa dapat terus ditanamkan bagi warganya.
Kembali Pada Bhineka Tunggal Ika Sebagai Identitas
UUD
1945 pasal 36 dengan tegas menempatkan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan
bangsa Indonesia. Ke-bhinekaan yang Tunggal Ika seperti yang tertulis dalam
kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad ke-14,
merupakan identitas asli bangsa ini yang sudah tertanam sejak lama dalam
pribadi setiap rakyatnya. Sebuah identitas suatu bangsa yang berdiri diatas
keaneka-ragaman yang mungkin tidak akan kita jumpai pada belahan dunia manapun.
Di dalam Bhinneka Tunggal Ika pula terdapat sejarah panjang bangsa ini. Sejarah
akan sebuah bangsa yang berdiri diatas tanah yang pernah dikuasai oleh kerajaan
Hindu, Budha, Islam, Portugis, Inggris, Spanyol, Jepang dan Belanda. Tentunya
semua itu mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik
dalam budaya, bahasa, agama dan keyakinan dan lain-lain. Perubahan yang terjadi
pada masyarakat Indonesia dari masyarakat yang berkepercayaan dinamisme dan
animisme hingga menjadi penganut agama-agama import bawaan saudagar-saudagar
china, timur tengah, dan barat, juga semakin memperkaya bangsa ini dalam ranah
ilmu pengetahuan alam dan sosial maupun teologi. Perlahan demi perlahan
toleransi antar umat beragamapun berkembang pada masyarakat Indonesia, seiring
dengan semakin derasnya ajaran-ajaran agama baru yang menginvasi Indonesia.
Jika
kita pahami identitas bukanlah suatu yang selesai dan final dan keadaan yang
dinegosiasi terus-menerus, maka wujudnya akan selalu tergantung dari proses
yang membentuknya. Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu
diwujudkan dan terus menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung
Karno sebagai ekspresi roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan
mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa
Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam
lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan informal. Untuk itu
bagaimana, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat bersinergi untuk kembali pada
identitas kita yang asli yakni bangsa yang berbeda-beda tetapi satu jua.
Kita hendak mendirikan suatu
negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu
golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi negara "semua buat semua".
(Soekarno)
V.
Kesimpulan dan Saran
Simpulan
Kebinnekaan yang dimiliki Indonesia seperti dua sisi
pedang yang tajam. Pada satu sisinya adalah indahnya pluralisme yang membuat
Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar, namun disi yang lain adalah bahaya
disintegrasi, bisa bernasib seperti Uni Sovyet pecah menjadi beberapa negara
kecil yang akan mudah dijadikan boneka negara lain.
Dalam menghindari kehancuran dan meraih kejayaan
berdasarkan kebhinnekaan yang kita miliki, ada 3 hal yang perlu dijalankan
yaitu:
- Tanamkan toleransi pada
diri dan jiwa seluruh rakyat
- Peran elite, baik itu pimpinan negara, pimpin
organisasi, pimpinan umat, hingga guru bangsa untuk mengayomi warganya tentang
indahnya kebhinnekaan
- Mengembalikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
Identitas bangsa kita yang menunjukkan ke-Indonesia-an pada dunia internasional
Saran
Pentingnya sosialisasi 4 pilar kehidupan berbangsa dan
bernegara kepada masyarakat luas, baik melalui pertemuan informal dan nonformal
juga melalui pendidikan formal
Daftar
Pustaka
Elsam. 2009. Diginitas: Komunalisme dan Kekerasan Komunal, Elsam, Jakarta
Mahkamah Konstitusi
RI. 2006. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi, Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Setyo Listyati. 2010. Meningkatkan Rasa Cinta Tanah Air dengan Pendidikan Berbasis
Nilai-Nilai Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya.