Thursday, February 07, 2008

Adat Bali Benteng Ajeg Bali

ADAT BALI BENTENG AJEG BALI 
I Gede Suputra Widharma 

Bicara tentang Bali pasti tidak akan dapat lepas dari adatnya, karena adat adalah rohnya Bali. Bali tanpa adat seperti sayur tanpa garam atau bahkan lebih tegas lagi seperti sayur kangkung tanpa kangkung. Adat Bali dibentuk oleh para leluhur tentunya dengan tujuan yang sangat mulia, yaitu menjaga lingkungan budaya Bali agar tetap lestari. Bali yang merupakan benteng terakhir kejayaan Hindu nusantara agar mampu selalu mempertahankan eksistensi Hindu di Nusantara ini setelah runtuhnya Majapahit akibat durhakanya seorang anak. Bali menjadi tempat dimana ajaran agama Hindu dapat berjalan dengan baik, seperti upacara Yadnya, Nyepi, dan lain-lain. Namun seiring perkembangan jaman dan modernisasi, terjadilah perkembangan wawasan dan pergeseran cara pandang pada generasi penerus Adat Bali. Perkembangan dan pergeseran ini membuat timbulnya gesekan-gesekan diantara anggota masyarakat yang kadang kala berujung pada tindakan anarkis. seperti kasus adat di Tusan, Banjarangkan, Klungkung yang merupakan akumulasi klimaks kasus adat yg sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya tanpa ada solusi. Juga kasus-kasus lain yg terjadi karena pergesekan sesama orang Bali yang terlibat dalam bentrokan fisik dan berujung dengan pengerusakan bangunan hingga tempat suci. 

Apalagi jika hal ini dibubuhi dengan rasa kesenjangan sosial maka semakin besarlah kemungkinan terjadinya hal-hal yang akan merugikan lahir batin salah satu pihak. Ketidakpuasan yang bisa merusak perjalanan Bali sebagai daerah pariwisata terbaik di jagat ini dan khususnya sebagai benteng Hindu di Nusantara ini. Untuk itu revitalisasi adat Bali memang perlu dilaksanakan. Jadikan adat untuk selalu dapat menjaga budaya luhur masyarakat Bali dan mempertahankan eksistensi Hindu. Hukum/adat pada umumnya memang bergerak lebih lambat dibandingkan dengan pergerakan zaman. Cara mengatasinya, diubah atau direvisi agar sesuai dengan perkembangan zaman. Masalahnya adalah desa pakraman di Bali belum memiliki semacam lembaga eksekusi untuk memaksakan agar perubahan itu dilaksanakan sesuai harapan. Akibatnya, perubahan yang ditawarkan hanya menjadi semacam anjuran. Ditaati syukur, tidak ditaati juga tidak apa-apa. Sanksi adat berupa kasepekang dan kanoroyang, telah dilarang sementara waktu hingga adanya rumusan yang memadai mengenai pengertian dan tata cara menjatuhkan sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali. Mengingat untuk sanksi adat ini terasa sangat merugikan pihak korban baik lahir dan bathin serta bila dikaitkan dengan hukum internasional akan menjadi bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Salah satu contoh hukum adat yang telah direvisi tapi tidak dilaksanakan adalah kasus kembar buncing yang terjadi di Desa Pakraman Padangbulia, Singaraja, baru-baru ini. Hukum adat Bali yang terkait dengan kembar buncing sebenarnya sudah dihapuskan sejak tahu 1951 berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali. Tapi, kenyataannya, masih ada masyarakat atau desa pakraman yang mengenakan sanksi adat kepada warganya yang melahirkan kembar buncing. 

Demikian juga tentang larangan perkawinan antarkasta (asu pundung dan anglangkahi karang hulu) telah dihapus tapi tetap saja masih banyak yang berpegang teguh sehingga kasus kawin lari masih banyak terjadi. Padahal kasta itu telah tidak berlaku lagi. Berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung Majelis Desa Pekraman Provinsi Bali tanggal 3 Maret 2006, ditentukan bahwa penduduk yang bertempat tinggal di desa tempat tertentu, dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu (1) krama desa, (2) krama tamu, dan (3) tamu. Krama desa atau pawongan desa, yaitu penduduk yang beragama Hindu dan tercatat sebagai anggota desa adat di tempat yang bersangkutan berdomisili. Krama tamiu, yaitu penduduk beragama Hindu tapi tidak tercatat sebagai anggota desa adat di tempat yang bersangkutan berdomisili. Tamu, yaitu penduduk yang tidak beragama Hindu dan tidak tercatat sebagai anggota desa adat. Masing-masing kelompok memiliki kewajiban yang berbeda terhadap desa adat, dengan demikian diharapkan desa adat tampil lebih sejuk. Walaupun dalam kenyataan, hal ini juga belum berjalan seperti yang diharapkan, tapi telah banyak desa pekraman yang melaksanakannya. Seperti yang berlaku di Desa Pakraman Serongga yang terletak di selatan kota Gianyar. Desa ini memegang teguh pelestarian warisan leluhur. Kehidupan sosial masyarakat yang terdiri atas berbagai warna, mulai dari brahmana, kesatria, waisya dan sudra berbaur menjadi satu dalam kerukunan hidup bertetangga. Belum lagi kanekaragaman clan yang ada di desa ini seperti Dukuh Segening, Pande, Pasek, Arya, dan lain lain, namun kuatnya rasa solidaritas masyarakat yang dipayungi oleh keberadaan Pura Kahyangan, di antaranya Pura Dalem, Pura Puseh/Bale Agung, serta Pura Sakenan, membuat kestabilan dan kedinamisan masyarakat terbina dengan baik. 

Dengan menyadari adanya pluralisme/keanekaragaman di dalam masyarakat seperti yang terlihat melalui adanya eksistensi masyarakat adat, tiada cara yang lebih strategis selain mengelolanya sebagai kekuatan yang produktif dalam mencapai kemajuan bersama. Proses-proses sosial perlu terus dilakukan dalam memelihara dan menyegarkan terajutnya jalinan pluralisme ini menjadi suatu tatanan sosial yang mapan di dalam masyarakat. Peran pemerintah yang selama ini cenderung melakukan praktek eksploitasi terhadap masyarakat adat perlu segera diperbaharui, agar kesadaran pluralis di dalam masyarakat adat tidak berkembang pada bentuk resestensi yang tidak sehat, misalnya dengan ekslusfisme identitas kelompok. Kesadaran pluralis harus terus ditanam dan dikembangkan di dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat perlu mengapresiasi nilai baru yang dapat memberdayakan kehidupan bersama untuk kemajuan dan kreatifitas dalam membangun kebudayaan. Interaksi dalam masyarakat perlu terus dikembangkan melalui bentuk kerjasama dalam menciptakan adat yang sesuai dengan perkembangan jaman dan tetap menjaga Ajeg Bali. Beberapa adat peninggalan masa lalu sudah ketinggalan jaman dan mulai punah di masa kini. Babad sejarah memang selalu berubah sesuai jaman, namun ajaran kebenaran tidak akan pernah berubah sepanjang masa. Demikian juga dengan Adat Bali, perlu kearifan lokal untuk mencari solusi terbaik, yang mana yang perlu kita lestarikan? Masih sesuai kah untuk kondisi Bali dimasa mendatang? Ini merupakan pemikiran untuk masyarakat Bali khususnya, dan pemerhati Bali dimana pun berada. Selama hati kita tidak berubah, semuanya akan tetap lestari di masa mendatang, walau dalam wujud yang berbeda. 

Dosen Program Studi Sistem Informasi Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Bali Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali



No comments: