Saturday, December 01, 2012

Jagadhita - Oriented

Moksartham Jagadhita-Oriented Utama Bagi Individu Bali
I Gede Suputra Widharma, ST, MT

          Bali dalam menjaga alam budaya adi luhungnya tergantung pada tindakan masyarakat Bali sendiri dalam berkarya sehari-hari baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di lingkungannya berada. Berhasil atau tidaknya Bali menjaga dirinya sangat bergantung kepada kuat atau lemahnya dorongan individu Bali untuk melakukan tindakan tersebut (motivasi). Apabila diamati lebih mendalam, maka akan akan didapati 3 jenis motivasi yang mendorong individu Bali untuk melaksanakan tindakan, yaitu:



1. Motivasi Dharma
Motivasi yang utama dari ketiga motivasi yang ada adalah Motivasi dharma/agama. Motivasi ini didasarkan kepada kesadaran seseorang bahwa suatu perbuatan harus dilaksanakan sebagai rasa bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Motivasi yang selalu mengingatkan manusia Bali pada hakekat Tri Rna (tiga utang) yaitu utang pada Tuhan dan Alam ciptaanNYA, leluhur dan sesama manusia, serta para Rsi. Motivasi ini memiliki pengaruh yang sangat kuat khususnya bagi pelakunya untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Upacara Yadnya yang besar dengan menghabiskan dana, pikiran, waktu, dan tenaga yang cukup besar dapat terlaksana dengan baik dan lancar tanpa ada rasa kekecewaan dan penyesalan, bahkan yang ada adalah keinginan untuk lebih meningkatkan lagi pelaksanaannya pada kesempatan berikutnya. Semuanya ini dapat terwujud karena motivasi dharma ini dari tiap individu khususnya masyarakat Bali. Motivasi yang sejak dulu menjadi pendorong yang sangat kuat bagi setiap masyarakat Bali untuk berkarya secara aktif, kreatif dan inovatif sehingga dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan khususnya menjaga kelestarian alam budaya Bali bukan saja untuk hari ini dan esok lusa, tapi untuk selamanya.

2. Motivasi Eksistensi Diri
Jenis motivasi yang kedua adalah motivasi yang membuat individu berkarya untuk mendapatkan penghargaan atas hasil karyanya. Rasa kebanggaan, pengakuan dan penghargaan akan sebuah prestasi merupakan salah satu pendorong seseorang untuk berkarya, tetapi dorongan itu akan hilang manakala kebanggaan, pengakuan dan penghargaan akan hasil karyanya hilang atau berkurang. Atas dorongan untuk mewujudkan hal ini seringkali individu rela mengorbankan harta bendanya. Seperti saat pemilihan umum beberapa saat yang lalu ataupun keinginan menduduki jabatan untuk eksistensi diri di lingkungan masyarakat, dengan rela mengeluarkan hartanya untuk memuluskan hasrat dan keinginannya tersebut. Setelah segalanya terselesaikan, jangankan individu yang cita-citanya kandas terlihat kekecewaan tampak pada tindak tanduknya, bahkan pada individu yang tercapai cita-citanyapun akhirnya berujung dengan kebahagiaan semu atau malah kegelisahan hidup.

3. Motivasi Materi
Motivasi yang terakhir ini meskipun sifatnya tidak membawa kepada kebahagiaan hakiki, akan tetapi kebanyakan individu melakukan perbuatan justru didominasi oleh motivasi materi (kebendaan) ini. Namun demikian pada kehidupan sehari-hari dapat dirasakan bahwa pengaruh motivasi materi ini bersifat sementara, semu dan relatif, sebab ketika telah tercapai kebutuhan materi tersebut, maka dorongan untuk berkarya pada bidang itu akan melemah pula. Individu yang bermotivasi materi ini tidak akan terdorong untuk aktif dan kreatif manakala kebutuhan materi dirasa tidak akan diperoleh dari pekerjaan tersebut. Orang-orang yang menjadikan motivasi materi menjadi landasan setiap perbuatannya seperti para kapitalis dan neoliberalis, maka cenderung tidak akan pernah merasakan kebahagian hidup yang hakiki dan selalu akan merasa tidak puas atas apa yang telah diraihnya.


Akhirnya, apabila dilakukan pemahaman yang lebih mendalam terhadap hakikat ketiga motivasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi materi dan eksistensi diri biasanya lebih pada orientasi keuntungan (profit oriented) yang bersifat temporal (sesaat) dan semu adanya, sedangkan motivasi dharma lebih pada orientasi kebahagiaan hakiki yang dikenal dengan istilah Moksartham Jagadhita yang akan memberi manfaat bagi dirinya, bagi orang yang disayanginya, bagi Bali, dan juga bagi dunia ini.

Penulis, Dosen Sistem Informasi JTE Politeknik Negeri Bali, warga Dukuh Segening Serongga Kelod Ginyar Bali

Bhinneka Tunggal Ika


Bhinneka Tunggal Ika,
kajian pustaka tentang MENGembalikan identitas bangsa DEMI MENJAGA Indahnya Pluralisme DIBALIK BAHAYA Ancaman Disintegrasi

I Gede Suputra Widharma
Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bali,
Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali

Abstrak:
This literature study of our nation motto, Bhinneka Tunggal Ika, show that how important sense of belonging in our country. Indonesia is country with thousands islands, races, culture, languages, and religions. But, bhinneka can be like sword with its two shapes. In one shape that mean pluralism is so exotic and be able to give advantages for this country. But in another shape, bhinneka is identified with differences. Disintegration is latent dangerous that wait for our careless with bhinneka.
Solving this problem (disintegration) are using sense of tolerance, good-will  our elites, and the last but the most important is back to bhinneka for nation identity.
Keywords: Bhinneka, pluralism, disintegration, tolerance, identity

I.              Pendahuluan
Bhinneka Tunggal Ika tertulis slogan bangsa pada pita yang dicengkram kuat oleh Burung Garuda, kata-kata sakti yang diambil oleh founding fathers dan mothers kita dari warisan leluhur kita pada masa kejayaan nusantara lama. Semboyan Bhineka Tunggal Ika diambil dari mahakarya Mpu Tantular dari konsep teologi Hindu yang berbunyi, “Bhina ika tunggal ika, Tan Hana dharma mengrawa”, yang artinya, Berbeda-beda Dia, tetapi satu adanya, tak ada ajaran yang menduakannya. Sosok Mpu Tantular yang seorang pendeta Budha dan sangat terbuka terhadap pemeluk agama lain, terutama Hindu-Siwa. Artinya bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mempraktekkan hidup toleran terhadap pluralitas yang inheren. Kehidupan yang seperti itu menjadi tradisi dan menjiwai setiap anggota dalam masyarakat kita. Hal itulah yang merupakan sendi dari keberadaan bangsa Indonesia yang plural. Bhinneka Tunggal Ika mengandung arti yang sangat dalam bagi negeri ini. Berbeda-beda tetapi tetap satu juga, berbeda pulau, suku bangsa, bahasa, agama, tapi tetap satu bangsa satu bahasa satu Indonesia. Namun bagaikan dua sisi mata pedang, kebhinnekaan pada satu sisi bisa menjadi sebuah potensi yang dapat mengantarkan kejayaan.


Dengan berbagai keragaman yang terdapat di Indonesia, jika diolah dengan baik akan menciptakan kehidupan indah yang penuh dengan warna di dalam satu kesamaan yaitu di bawah naungan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan asas Pancasila. Sementara itu, pada sisi lain kebhinekaan tersebut jika tidak dikelola dengan baik justru dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Rainer Forst dalam Tolerance and Democracy berpendapat tentang toleransi yang dikutip oleh Zuhairi Misrawi, yaitu konsepsi yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception) dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conseption). Dua bentuk toleransi yang ditawarkan oleh Rainer Forst, penulis lebih tertarik menggunakan toleransi respect conseption. Bentuk toleransi yang kedua tersebut menghadirkan toleransi dalam kehidupan masyarakat secara kultural. Dan hal ini lebih tepat jika diberlakukan di Indonesia. Jika menggunakan bentuk pertama, permission conception, dikhawatirkan digunakan untuk menekan “kelompok” yang “tidak disukai” oleh mereka yang berkuasa dan terkesan hanya sebuah kontrak hitam di atas putih. Selain itu, tidak semua masyarakat dapat mengetahui, memahami, apalagi jika ditambah tidak ada sosialisasi dari pemerintah. Bentuk toleransi yang kedua, bisa diterapkan sesuai dengan local wisdom setiap wilayah. Hal ini bisa menghidupkan kembali berbagai local wisdom yang telah mulai dilupakan oleh masyarakat. Local wisdom yang diterapkan “harus” selalu dimaknai ulang (re-interpretasi) sesuai dengan keadaan masyarakat. Jika tidak, masyarakat akan beranggapan bahwa local wisdom tersebut sudah tidak relevan lagi diterapkan dalam masyarakat dewasa ini. Michael Walzer memandang toleransi sebagai sebuah keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexistance) di antara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai latar belakang sejarah, kebudayaan, dan identitas. Dalam konteks keindonesiaan, “Bhineka Tunggal Ika”, yang secara politis dan geografis bermakna ”bermacam ragam etnis yang hidup di kawasan nusantara, tetapi memiliki satu tujuan yang sama”, sementara secara teologis bermakna “Sumber Kebenaran hanya satu, meskipun manusia mengungkapkannya dengan cara yang berbeda-beda” bisa dijadikan dasar untuk membangun toleransi. “Kesadaran” akan adanya berbagai kelompok, etnis, agama yang ada dalam kehidupan ini, meniscayakan sebuah sikap menerima dan menghargai mereka. 
            Seperti yang disampaikan oleh Zaltmann bahwa ada tiga strategi dalam proses perubahan masyarakat, yakni :
A) Strategi empiric rational
Strategi ini membawa perubahan dengan informasi atau dengan data-data tentang suatu obyek, seperti melalui publikasi, ataupun sosialisasi.
Yang termasuk dalam strategi ini adalah sosialisasi 4 pilar berbangsa, penggunaan media komunikasi dan informasi  sebagai sarana publikasi nilai-nilai,  sosialisasi perangkat peemerintah terkecil di lingkungannya, mendorong keluarga dalam penanaman nilai-nilai toleransi.
B) Strategi normative re-educative.
Pada dasarnya strategi ini membawa perubahan dengan mengubah norma-norma yang dianut oleh masyarakat. 
Menuangkan dengan implisit ataupun eksplisit tentang 4 pilar berbangsa dalam produk peraturan perundang-undangan, menggunakan pendidikan dan institusi keagamaan sebagai sarana pengubah norma, mengadakan pertemuan-pertemuan informal ataupun non formal dengan kelompok masyarakat, kelompencapir, PKK, Koperasi, dan lain-lain.
C) Strategi power - coercive.
Perubahan dapat terjadi dengan adanya kekuasaan.
Strategi ini berhubungan dengan kebijakan yang diambil oleh pihak yang mempunyai kekuasaan seperti Pemerintah. Disini tindakan sigap dan tegas aparat dalam menjaga kerukunan umat beragama dan menindak setiap pelaku yang mencoba mencederai hal tersebut.
            Indonesia mempunyai ribuan pulau yang tersebar di daerah khatulistiwa. Jalur pegunungan yang membujur di setiap pulau, membentuk lahan yang subur, udara yang sejuk dan nyaman serta panorama yang indah. Oleh karena itu, kepulauan Indonesia dijuluki denganuntaian zamrud di khatulistiwa. Tiap pulau dihuni oleh berbagai suku dengan budaya yang berbeda. Mozaik budaya tersebut merupakan potensi yang siap untuk dikembangkan.           Indonesia merupakan bangsa yang majemuk. Kebhinekaan itu dapat dilihat dari 2 sudut :
1. Secara horisontal menunjukkan adanya perbedaan, tetapi tidak adanya tingkatan seperti perbedaan berdasarkan fisik atau ras, perbedaan suku bangsa, agama dan jenis kelamin;
2. Secara vertikal, yaitu perbedaan yang menunjukkan adanya tingkatan seperti tingkatan pendidikan dan pendapatan.
Kemajemukan Bangsa Indonesia disebabkan oleh 3 faktor, yaitu :
1. Latar belakang historis;
2. Kondisi geografis; dan
3. Keterbukaan terhadap budaya luar dan asing.


            Perbedaan tampak dari adanya berbagai jenis budaya, adaptasi terhadap lingkungan, dan perkembangan teknologi. Walaupun berbeda Indonesia mempunyai persamaan, yaitu umumnya berasal dari satu nenek moyang, bahasa yang dipergunakan berasal dari satu rumpun, dan dari sudut budaya menunjukkan adanya persamaan, yaitu berdasarkan tradisi dan ikatan keluarga. Kekayaan yang melimpah telah banyak menarik bangsa asing untuk menjajah Indonesia. Karena itu, muncul adanya kesadaran akan persatuan dan kesatuan. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia berikrar menjadi satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Keanekaragaman suku bangsa bersatu di bawah kesatuan Republik Indonesia dengan lambang Garuda Pancasila melalui semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya persatuan dalam perbedaan.


II.            Metode Penelitian
Berbeda-beda tetapi tetap satu juga, berbeda pulau, suku bangsa, bahasa, agama, tapi tetap satu Indonesia. Namun bagaikan dua sisi mata pedang, kebhinnekaan pada satu sisi bisa menjadi sebuah potensi yang dapat mengantarkan kejayaan. Namun disisi yang lain, dapat membelah negara kita seperti kisah negara adidaya (Uni Sovyet) menjadi pecahan-pecahan tidak jelas yang membawa kehancuran
            Dengan membawa kajian pustaka, membandingkan dengan harapan yang ada, dan mencari data factual yang ada di masyarakat, berusaha untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan ini.


III.           Hasil Penelitian
            Setelah mengadakan kajian pustaka terhadap kebhinnekaan dan indahnya pluralisme yang tercipta pada kebhinnekaan ini serta kejadian kekerasan dan tragedi kelabu yang terjadi selama ini, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Data Peningkatan Angka Kekerasan berbau SARA:
-    Tragedi kelabu Mei 1998 terhadap keturunan Tionghoa di Jakarta
-    Pertikaian di Poso dan Maluku antar umat beragama berbeda yang menghancurkan 400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 nyawa melayang.
-   Perang etnis antara Suku Madura dan Dayak di Kalimantan menyebabkan kerugian imateril dan materil yang sangat besar
-   Setara Institute melansir jumlah kekerasan mengusung agama pada tahun 2010 telah terjadi sebanyak 286 kali di negeri ini, yang cenderung meningkat dibanding 17 kasus pada tahun 2009
-   The Wahid Institute pada tahun 2008, melansir 59 kasus kekerasan yang dilakukan organisasi masyarakat tertentu dengan dalih agama.
-     Moderate Moslem Society (MMS) mencatat sekitar 81 kasus intoleransi beragama di Indonesia sepanjang 2010. Angka ini naik 30% dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 59 kasus.
-    Penyerangan terorganisir dibantu ormas terhadap penganut agama yang lain terjadi di beberapa daerah dalam jumlah yang meningkat yaitu Jawa Barat, Sumatera Barat, DKI Jakarta, dan Madura.
-    Laporan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri di depan rapat gabungan Komisi DPR RI dan pemerintah mengungkapkan di tahun 2007 tercatat 10 tindakan kekerasan dilakukan ormas. Jumlah tindakan kekerasan menurun menjadi 8 di tahun 2008, namun meningkat tajam menjadi 40 tindakan kekerasan ormas di tahun 2009. Dan di tahun 2010 saja yang baru berlangsung tengah tahun pertama telah terjadi 49 tindak kekerasan yang dilakukan ormas.
-    Bali Post pada laporannya menyatakan kekerasan berbau SARA pada penyerangan desa transmigran Bali oleh penduduk asli yang dibantu ormas di Lampung Selatan, yang mengakibatkan nyawa melayang, dan ratusan rumah terbakar.
-   Gejala disintegrasi yang melanda Aceh, Maluku, dan Papua dengan dukungan organisasi tertentu dan pihak l;uar.
-   Terorisme yang mengatasnamakan agama menggalang anak-anak muda untuk melakukan tindakan bom bunuh diri terhadap agama lain.


IV.          Pembahasan
            Apa yang terjadi pada negeri ini yang berakar pada kebhinekaan seperti pada data diatas, hanyalah kasus per kasus saja dari ratusan juta penduduk Indonesia yang tersebar pada ribuan pulaunya. Artinya hanya segelintir yang melihat kebhinnekaan ini dari sisi pedang yang salah. Sedangkan sebagian besar bahkan jauh lebih besar masih mensyukuri kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kebhinnekaan. Tapi, seperti yang disampaikan oleh tetua kita, yaitu antara lain:
- menyimpan api dalam sekap, ataupun
- seperti duri dalam daging, ataupun
- seorang makan cempedak semua kena getahnya, ataupun
- gara-gara setitik nila, rusak susu sebelanga
Demikian pula halnya dengan akibat segelintir warga yang dibiarkan akan dapat merambat. Meluas, dan membakar dalam wilayah yang luas.

Indahnya Pluralisme
            Indonesia yang luas keseluruhannya hampir 2 juta km2, tersebar di sekitar khatulistiwa pada lintang 6° LU sampai 11° LS dan 95° BT sampai 141° BT. Indonesia terdiri atas 17.667 pulau, dengan mendekati 250 juta jiwa penduduk, lebih dari 1200 suku bangsa dengan 750 bahasa daerah, dan 6 agama resmi serta lebih dari 240 aliran kepercayaan. Terletak diantara 2 kontinental, 2 samudra, 2 sirkum pegunungan, dan 2 garis flora fauna. Berlimpahnya lahan yang subur, udara yang sejuk dan panorama yang indah, sehingga dijuluki zamrud khatulistiwa. Indonesia merupakan bangsa yan penduduknya bersifat majemuk atau beragam (bhinneka). Mozaik budaya di hamparan khatulistiwa ini merupakan potensi besar untuk dikembangkan.
            Kalau negeri jiran yang jauh lebih sedikit keberagamannya mengatakan dirinya sebagai truely asia, maka negeri kita pantas menyatakan dirinya sebagai truely of the world. Dengan keberagaman dunia yang dimiliki ini, Indonesia merupakan bangsa yang plural dan bangsa yang sangat eksotik. Mulai dari batas timur negeri ini, penduduk Indonesia terdiri dari golongan Papua Melanesoid  yang hitam manis mendiami Papua, Aru, dan Kai. Golongan Mongoloid berdiam di sebagian besar kepulauan Indonesia, yang memiliki kulit putih sampai sawo matang. Golongan Weddoid dengan jumlah yang relatif sedikit, seperti orang Kubu, Sakai, Mentawai, Enggano dan Tomuna. Dan percampuran antara golongan-golongan ini yang menciptakan negeri ini semakin beranekaragam dari sisi penduduknya. Serta dengan banyaknya imigran (India, Arab, China, Eropa, dan lain-lain) yang telah menjadi warga negeri ini. Penduduk dengan berbagai kesukuan tersebar di seluruh Indonesia yaitu Jawa, Sunda, Madura, Dayak, Batak, Minang, Melayu, Aceh, Bali, Sasak, Bugis, Manado, Makassar, juga anak suku bangsa seperti Nias, Kubu, Mentawai, Baliage, Asmat, Dani, Tobati, Molof dan banyak lagi yang lainnya. Masing-masing suku bangsa mempunyai keanekaragaman adat istiadat, bahasa, dan budaya. Demikian juga agama dan kepercayaan yang dianut oleh penduduknya. Animisme dan dinamisme adalah kepercayaan yang paling tua, dan berkembang sejak zaman pra sejarah. Agama Hindu datang ke Indonesia dari India sekitar abad ke-5 SM dengan bukti tertulisnya ditemukan di Kalimantan Timur (Kerajaan Kutai) dan Bogor (Kerajaan Tarumanegara). Kemudian disusul Agama Budha mulai berkembang di Sumatra (Kerajaan Sriwijaya) dan Jawa (Kerajaan Mataram). Masuknya Agama Khong Hu Cu bersama kedatangan para pedagang China yang menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sriwijaya hingga Kerajaan Majapahit. Agama Islam datang dari Arab Saudi melalui Gujarat India sekitar Abad ke-7. Agama Islam menjadi agama terbesar dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Orang Eropa datang ke Indonesia pada awal abad 20, membawa agama Nasrani (Kristen Katholik dan Kristen Protestan). Belum lagi ratusan aliran kepercayaan yang masih dipegang teguh oleh berbagai anak bangsa semakin menambah indahnya pluralisme di negeri ini.
            Begitu indahnya keanekaragam negeri ini, seperti miniatur dunia yang penuh warna dan peradaban. Sesuatu yang membanggakan dan daya tarik dunia untuk menjadi the best and the biggest tourism destination.

Ancaman Disintegrasi
            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang unik. Bangsa yang terdiri atas berbagai ragam suku, agama, budaya, dan etnis, yang tersebar di berbagai pulau. Kekayaan ini patut menjadi kebanggaan. Namun, kebanggaan ini menjadi tidak bermakna ketika kebhinekaan yang ada tidak bisa dikelola dengan baik. Sebab, sifat sektarianisme akan selalu melekat dalam setiap individu, jika mereka tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Kesadaran yang utuh akan kebhinekaan yang termanifestasikan dalam tindakan nyata merupakan kerangka dasar yang akan menggerakkan rasa nasionalisme yang tinggi. Dengan demikian, kebhinekaan yang ada dapat terajut dalam ketunggalanika yang berlandaskan nilai-nilai luhur Pancasila. 
            Tercatat dalam sejarah bangsa, kesaktian Bhinneka Tunggal Ika mulai terongrong sejak krisis multidimensi melanda negeri ini dan kecenderungan negara yang lelet atau bahkan apatis, sehingga benih-benih konflik mulai muncul, merebak, hingga meledak seperti bom dengan wilayah yang luas. Berbagai konflik kekerasan yang terjadi bersifat multidimensi, yang tidak berdiri sendiri tetapi kait berkait masalah negeri ini seperti benang kusut, antara masalah agama, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan marginalisasi.  Bayang-bayang kelabu tragedi pembantaian etnis Tionghoa di Mei 1998. Perang Islam-Kristen di Maluku dan Poso yang menghancurkan 400 gereja dan 30 mesjid serta 3000 nyawa melayang. Perang etnis antara Suku Madura dan Dayak di Kalimantan menyebabkan kerugian imateril dan materil yang sangat besar. Hingga terakhir penyerbuan terhadap desa para transmigran asal Bali oleh penduduk asli di Lampung selatan. Belum lagi konflik penyerangan terhadap umat aliran kepercayaan, perusakan rumah ibadah, ataupun kekerasan terhadap umat beragama. Kini kekerasan sudah menjadi trend penyelesaian masalah.
            Kita tentu sangat prihatin dengan beragam konflik yang terjadi belakangan ini, yang pada dasarnya disebabkan ketidakmampuan bangsa merajut persatuan dalam keragaman bangsa Indonesia. Kita kurang menyadari, bahwa negara ini terbentuk dari beragam perbedaan yang tidak akan bisa berjaya tanpa semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, persatuan dan kesatuan bangsa merupakan harga mati yang harus dicapai demi terciptanya kesejahteraan bangsa Indonesia. Secara nyata mesti disadari, bahwa kebhinekaan merupakan fitrah alam Indonesia yang tidak bisa kita mungkiri.      Kiranya pernyataan ini terkesan klasik. Tetapi, nyatanya hal ini masih belum bisa diimplementasikan dengan baik, sehingga terus menjadi gurita yang merangkak diam-diam dan siap menerkam, lalu menjadi persoalan besar bagi kebangsaan kita. Minimnya teladan yang baik dari para elite negara  yang terkait persatuan dan kesatuan juga menjadi hal yang patut dipertanyakan. Dalam situasi yang sedang marak konflik, elite politik di parlemen, para wakil rakyat justru sibuk beradu pendapat dan mengedepankan kepentingan masing-masing. Sementara kesejahteraan rakyat terabaikan. Sebagai pemimpin yang baik, mestinya pemerintah dan lembaga tinggi negara yang lain memberikan contoh yang baik, tidak malah ikut-ikutan larut dalam konflik yang hanya bertujuan menguntungkan pribadi dan kelompoknya.
            Dan keindahan ini sangat ditunjang dengan besarnya rasa toleransi yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia sejak dulu. Namun dibalik sebagai rahmat terindah, dalam keberagaman ini ada marabahaya terburuk jika hal ini tidak dikelola dengan baik. Untuk itulah selama bertahun-tahun para founding fathers dan mothers berdialektika untuk merumuskan ke-Indonesiaan seperti apa yang hendak kita didirikan.



Budaya Toleransi
            Substansi dari sebuah keberagaman adalah perbedaan dan menerima perbedaan sebagai rahmat Tuhan. Namun tidak semua orang dapat menerima adanya perbedaan dalam lingkungannya. Sikap chauvinisme kadangkala lebih menonjol  dalam mengatasi permasalahan tersebut dibanding jiwa besar ataupun rasa keterbukaan terhadap perbedaan tersebut. Toleransi adalah kata kunci memecah kebuntuan dalam perbedaan. Toleransi adalah konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (Rainer Forsf). Toleransi yang sebaiknya diterapkan sesuai dengan local wisdom/local genius masing-masing daerah. Mayoritas mengayomi yang minoritas, sedang yang minoritas menghormat yang mayoritas. Bhinneka Tunggal Ika dalam hal ini bermakna ”bermacam ragam etnis yang hidup di jamrud khatulistiwa ini, tetapi memiliki satu tujuan yang sama”. Kesadaran akan adanya berbagai kelompok, etnis, agama yang ada dalam kehidupan ini, menimbulkan sikap keterbukaan untuk menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Menjadikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai identitas bangsa pada hakekatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan bangsa ini, dengan ciri-ciri khas yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Identitas bangsa berhubungan dengan pengalaman sebuah bangsa di masa lalu. Pengalaman bangsa di masa lalu mengendap menjadi karakter, sifat, dan nilai-nilai hidup bersama. Berdasarkan hakikat pengertian tersebut, maka Bhinneka Tunggal Ika ini tidak dapat dipisahkan dengan jati diri bangsa atau lebih kepribadian Bangsa Indonesia. Identitas bangsa yang mewujudkan integrasi nasional. Kesadaran untuk menerima identitas bansa ini sebagai faktor penguat pondasi berbangsa dan bernegara sehingga menjadi semakin kokoh. Namun nilai identitas bangsa itu telah terkikis dan menjadi bartang langka di negeri ini. Masyarakat seperti kehilangan jati dirinya. Perasaan pentingnya persatuan dalam ke-bhinekaan yang sejatinya merupakan alasan dasar kita menjadi bangsa Indonesia, namun pada masa Orde Baru ternyata ke-bhinekaan tersebut justru dianggap sebagai sebuah ancaman yang terus merongrong kekuasaan. Selama itu pula Orde Baru  telah menciptakan lingkungan yang monolitik, yang tidak mengenal dalam dirinya sifat oposan bahkan kompetisi terbuka. Dalam konteks ini termasuk pula penolakan terhadap semua bentuk perbedaan perspektif dan ideologis. Segala bentuk realitas heterogen diingkari. Hal ini telah melahirkan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan yang ada. Perbedaan baik itu agama, ras, etnis, adalah sesuatu yang demikian melahirkan perbedaan berat, bahkan kecurigaan yang kehilangan rasionalitas. Setelah tumbangnya orde baru, masyarakat yang tadinya sudah kehilangan jati diri, berhadapan dengan nilai-nilai lama yang sudah pudar, tetapi nilai baru belum datang. Ini kondisi yang disebut oleh tokoh sosiologi, Robert Merton sebagai kondisi Anomie. Salah satu identitas yang paling parah mengalami destruksi adalah nilai-nilai keberagaman (bhineka tunggal ika). Masing kelompok ingin menetapkan identitas kelompoknya di tengah belum kekosongan nilai-nilai. Fakta yang terjadi, masyarakat begitu mudah marah terhadap saudara setanah airnya sendiri dengan melahirkan peristiwa yang membuat kita miris.
            Selain faktor dari dalam tersebut, rapuhnya nilai-nilai toleransi juga dipengaruhi dari luar. Globalisasi menawarkan nilai universal yang harus dianut semua bangsa. Artinya, tidak akan ada kearifan lokal yang ditawarkan oleh globalisasi karena merupakan penyatuan budaya yang disebut budaya dunia. John Naisbitt berpandangan dalam era globalisasi telah terjadi kecenderungan paradoksal.Salah satunya dengan derasnya trend ke arah terbentuknya kota buana (global city) akibat dari kemajuan teknologi transformasi dan informatika. Namun sisi lainnya,masyarakat modern semakin merindukan nilai-nilai dan gaya promordial,terutama pada romantisme etnis. Bahkan Naisbitt menyerukan trend ini telah begitu mengeras sehingga menjelma bagaikan virus tribalisme.
Selain itu Arnold Toynbee mengutarakan, kebudayaan akan berkembang apabila ada keseimbangan antara challenge dan response. Kalau challenge terlalu besar, sedangkan kemampuan untuk me-response terlalu kecil, kebudayaan itu akan terdesak. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, justru akan menumbuhkan kreativitas masyarakat . Saat ini kita bisa saksikan bagaimana generasi muda kita menghamba pada selera pasar dan budaya-budaya yang dijajakan kapitalisme. Hal ini dalam jangka panjang akan menggerus kita punya budaya. Nilai-nilai kolektif jangan sampai digantikan oleh nilai-nilai individualisme. Oleh karena itu, seperti yang dikatakan Toynbee, kita harus punya kemampuan merespon dan mengelola budaya-budaya yang masuk dari luar tersebut. Maka, agar tidak terombang ambing, kepribadian kita harus kuat terlebih dahulu.
Sesudah 13 tahun berlalu, reformasi juga ternyata belum mampu mengembalikan identitas bangsa yang telah lama diberangus dari kepribadian masyarakat. Faktanya mulai marak kekerasan berlabel kelompok yang mengatasnamakan agama.




Peran Elite
            Dalam pembukaan UUD 1945 dikatakan “untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dalam hal ini negara sebagai organisasi yang dibentuk karena ketidakmampuan orang per orang untuk menyelesaikan masalahnya, harusnya tampil ke depan sebagai pemecah masalah. Namun, hari ini wajah negara adalah wajah negara yang abstain. Negara hadir tetapi memilih tidak melakukan apa-apa.   
            Terkait dengan konflik agama, ada beberapa hal yang menjadi titik point untuk mengatasi problem tersebut. Para elit agama seharusnya bersikap arif dalam melihat perbedaan dalam penafsiran, sehingga tidak “dengan mudahnya” mengeluarkan fatwa yang dapat mendiskriditkan kelompok lain. Kemampuan dan keharusan seseorang, kelompok, organisasi atau lembaga untuk mengontrol dan mengendalikan diri (restrain), tulus hati (diligence), mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait (comprehensiveness), mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonableness) dan kejujuran (honest). Kelima-limanya dijadikan sebagai acuan parameter uji sahih untuk meneliti berbagai kemungkinan pemaknaan teks sebelum pada akhirnya harus memutuskan dan merasa yakin bahwa dirinya memang mengemban sebagian perintah Tuhan.
            Para elit agama seyogyanya tidak membawa “konflik perbedaan” semakin mengemuka. Poin terpenting adalah bagaimana membawa “perbedaan” untuk menyelesaikan problem sosial yang semakin hari semakin akut. Problem sosial yang dihadapi bangsa Indonesia sangat kompleks, dan problem inilah yang seharusnya diatasi. Konflik identitas agama hanya merupakan bumbu penyedap dari akutnya problem sosial, sehingga perlu penanganan secepatnya terhadap berbagai problem sosial. Jika masyarakat hidup dalam keadaan yang aman, sejahtera niscaya berbagai konflik yang ada dengan sendirinya akan terkikis, walau tidak berarti akan benar-benar hilang dari muka bumi ini. Tokoh agama sebagai benteng moral juga tidak banyak berperan dalam  memberikan pemahaman kehidupan bermasyarakat yang benar. Ini akibat derasnya godaan berpolitik sehingga lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai “penjewer kuping” pemerintah ketika berjalan di jalan yang salah. Selain itu, tanggung jawab dan pengaruh  kepada umat juga dirasakan semakin memudar. Umat tidak lagi tunduk pada tokoh agamanya, karena disekitarnya banyak tokoh agama yang justru bermain mata dengan apa yang diajarkannya. Sedangkan guru bangsa, kini mulai kekurangan stok.
Masalah-masalah kebhinnekaan mencakup tiga hal, yaitu; masyarakat, tokoh dan negara. Demikian yang disampaikan Romo Franz bahwa dari sisi masyarakat dan ketokohan, bahwa tradisi yang ramah adalah pondasi penting yang telah dimiliki masyarakat Indonesia. Fakta akhir-akhir ini, tak lepas dari kodrat manusia yang memang sempit, sesuatu yang belum diketahui menjadi dicurigai. Lebih jauh, perubahan dan persaingan menjadikan orang lebih mudah untuk tidak toleran. Ketakutan akan ketertinggalan dan oleh karenanya ketertindasan menjadi pemicu menurunnya tingkat toleransi. Oleh karenanya masyarakat perlu dibantu, baik oleh panutan maupun negara untuk kembali menumbuhkan sikap-sikap toleransi dalam masyarakat yang belakangan hari ini mulai tergeser dari tempatnya. Toleransi disini harus dipahami sebagai toleransi aktif bukan pasif. Jika pasif, maka seseorang sadar dan menerima dirinya dan orang lain berbeda. Sedangkan toleransi aktif, selain sadar akan perbedaan, juga aktif dalam memelihara perbedaan tersebut agar tidak menjadi faktor perusak kohesi bermasyarakat.
Kaum elite sebaiknya semakin sering terjun (masimakrama) ke masyarakat, untuk mengetahui kondisi di lapangan. Seperti apa yang dilakukan Jokowi pada warga Jakarta akhir-akhir ini yang menunjukkan kedekatan elite dengan warganya. Sehingga sosialisasi program kerja juga pilar bangsa dapat terus ditanamkan bagi warganya.




Kembali Pada Bhineka Tunggal Ika Sebagai Identitas
            UUD 1945 pasal 36 dengan tegas menempatkan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia. Ke-bhinekaan yang Tunggal Ika seperti yang tertulis dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular pada masa Kerajaan Majapahit di abad ke-14, merupakan identitas asli bangsa ini yang sudah tertanam sejak lama dalam pribadi setiap rakyatnya. Sebuah identitas suatu bangsa yang berdiri diatas keaneka-ragaman yang mungkin tidak akan kita jumpai pada belahan dunia manapun. Di dalam Bhinneka Tunggal Ika pula terdapat sejarah panjang bangsa ini. Sejarah akan sebuah bangsa yang berdiri diatas tanah yang pernah dikuasai oleh kerajaan Hindu, Budha, Islam, Portugis, Inggris, Spanyol, Jepang dan Belanda. Tentunya semua itu mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, baik dalam budaya, bahasa, agama dan keyakinan dan lain-lain. Perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia dari masyarakat yang berkepercayaan dinamisme dan animisme hingga menjadi penganut agama-agama import bawaan saudagar-saudagar china, timur tengah, dan barat, juga semakin memperkaya bangsa ini dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan sosial maupun teologi. Perlahan demi perlahan toleransi antar umat beragamapun berkembang pada masyarakat Indonesia, seiring dengan semakin derasnya ajaran-ajaran agama baru yang menginvasi Indonesia.
            Jika kita pahami identitas bukanlah suatu yang selesai dan final dan keadaan yang dinegosiasi terus-menerus, maka wujudnya akan selalu tergantung dari proses yang membentuknya. Identitas bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang perlu diwujudkan dan terus menerus berkembang atau seperti yang telah dirumuskan Bung Karno sebagai ekspresi roh kesatuan Indonesia, kemauan untuk bersatu dan mewujudkan sesuatu dan bermuatan yang nyata. Perwujudan identitas bangsa Indonesia tersebut jelaslah merupakan hasil proses pendidikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan formal dan informal. Untuk itu bagaimana, pemerintah, tokoh agama dan masyarakat bersinergi untuk kembali pada identitas kita yang asli yakni bangsa yang berbeda-beda tetapi satu jua.


Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi negara "semua buat semua".
(Soekarno)

V.           Kesimpulan dan Saran
Simpulan     
            Kebinnekaan yang dimiliki Indonesia seperti dua sisi pedang yang tajam. Pada satu sisinya adalah indahnya pluralisme yang membuat Indonesia bisa menjadi bangsa yang besar, namun disi yang lain adalah bahaya disintegrasi, bisa bernasib seperti Uni Sovyet pecah menjadi beberapa negara kecil yang akan mudah dijadikan boneka negara lain.
            Dalam menghindari kehancuran dan meraih kejayaan berdasarkan kebhinnekaan yang kita miliki, ada 3 hal yang perlu dijalankan yaitu:
- Tanamkan toleransi pada diri dan jiwa seluruh rakyat
- Peran elite, baik itu pimpinan negara, pimpin organisasi, pimpinan umat, hingga guru bangsa untuk mengayomi warganya tentang indahnya kebhinnekaan
- Mengembalikan Bhinneka Tunggal Ika sebagai Identitas bangsa kita yang menunjukkan ke-Indonesia-an pada dunia internasional

Saran
            Pentingnya sosialisasi 4 pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kepada masyarakat luas, baik melalui pertemuan informal dan nonformal juga melalui pendidikan formal


Daftar Pustaka
Elsam. 2009. Diginitas: Komunalisme dan Kekerasan Komunal, Elsam, Jakarta
Mahkamah Konstitusi RI. 2006. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
Setyo Listyati. 2010. Meningkatkan Rasa Cinta Tanah Air dengan Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya.