Wednesday, September 13, 2006

Antara Tri Hita Karana dan Devisa bagi Negara

ANTARA TRI HITA KARANA DAN DEVISA NEGARA
I Gede Suputra Widharma

Pura adalah bagian yang tak terpisahkan dan telah menjadi kesatuan yang utuh dengan keberadaan Pulau Bali. Bali bukan Bali bila tanpa Pura, karena itulah pulau yang dikenal dengan Pulau Dewata ini juga terkenal dengan Pulau Seribu Pura. Hal ini wajar karena Pura ada di setiap sisi tanah di Pulau ini dan mewarnai kehidupan sosial masyarakat Bali. Sebutan seperti ini juga terjadi pada daerah lain, misalnya Aceh dengan sebutan Negeri Serambi Mekkah dan Negeri Seribu Masjid, ataupun daerah lainnya di negara ini yang memiliki julukan sesuai dengan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Arti Penting Pura bagi Bali Pura adalah tempat suci agama Hindu, tempat beribadah umat Hindu terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam penjawantahan Tri Hita Karana pada kehidupan sehari-hari. Sekedar untuk mengingatkan kembali bahwa dalam kehidupan ini umat Hindu menjaga keharmonisan, keserasian, dan keselarasan baik ke arah bawah yaitu lingkungan hidup/alam habitat, ke arah horisontal yaitu sesama manusia, dan ke arah atas yaitu dengan Sang Maha Pencipta. Pura adalah tempat paling baik bagi umat Hindu berkomunikasi dengan Tuhan yang dimuliakannya, suasana Pura yang suci dan indah membuat pikiran, jiwa dan raga pun menjadi suci, dengan demikian telah siap untuk menghadp pada NYA. Pura juga adalah tempat paling tepat bagi umat Hindu untuk membuat rencana kegiatan kedepan dan memecahkan masalah yang penting bagi kehidupan bermasyarakat di Bali, para manggala di desa memilih Pura Desa untuk melaksanakan peparuman sebab dengan kuasa Tuhan dan disaksikan NYA maka apa yang diambil akan memberikan manfaat bagi kehidupan rakyatnya. Pura adalah Subyek spiritual dalam kehidupan bermasyarakat di Bali, Pura menjadi tempat memuja Tuhan, Pura menjadi tempat mengambil keputusan bijak yang penting bagi masyarakat, Pura menjadi tempat berinteraksi dengan lingkungan hidup disekitarnya. Pura berasal dari akar kata Pur (Bahasa Sanksekerta) yang berarti Benteng. Jadi Pura adalah Benteng bagi umat Hindu dalam menjaga hati dan imannya agar selalu ingat dan dekat kepada Tuhan. Pura juga menjadi benteng yang menjaga Bali agar selalu kuat dan tangguh menghadapi segala cobaan dan tantangan ke depan dalam kehidupan yang semakin berat ini. Kita telah diuji berkali-kali dengan bom-bom yang meledak, namun berkat keyakinan yang kuat yang ada pada diri, hati, dan jiwa rakyat Bali maka ujian seperti itu tidak bisa menghancurkan Bali. Keyakinan ini timbul berdasarkan Panca Sraddha yang telah tertanam pada diri rakyat Bali. Tempat keyakinan tumbuh dan berkembang yang merasuk dan menyatu dalam nafas rakyat Bali dan dalam setiap denyut nadinya yang mengalirkan darah ke segala bagian raganya adalah berawal dari tempat sucinya yaitu Pura. Masih ingat penulis pada Buku Sewindu dekat Bung Karno, terdapat dialog antara Bung Karno dengan Presiden Uni Sovyet dalam perjalanan dari Bandara Ngurah Rai ke Istana Tampak Siring. Dalam perjalanan itu, mereka melihat orang-orang beriring-iringan membawa banten pergi ke Pura, tanpa memakai sandal dan berbaju seadanya bahkan banyak yang telanjang dada. Presiden Uni Sovyet bertanya pada Bung Karno, “Tuan bilang cita-cita negeri yang berdasarkan Pancasila ini adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kenapa rakyat sini masih banyak yang telanjang kaki dan dada begini?”. Dan Bung Karno memang seorang Pemimpin Besar yang Pancasilais sejati, seperti yang tersimak dalam jawabannya, “Seperti yang tuan lihat, rakyat Bali sangat bahagia pergi berduyun-duyun ke Pura membawa hasil kebunnya untuk dipersembahkan bagi Tuhan. Kami ingin menjaga agar suasana yang penuh kebahagiaan seperti ini selalu terjaga di Bali. Sedangkan untuk urusan ekonomi akan kami tingkatkan secara bertahap tanpa mengusik kebahagiaan ini.” Demikian kisah pendek yang menunjukan arti penting dari begitu banyak arti penting Pura bagi kehidupan sosial masyarakat Bali sejak dulu hingga akhir jaman. Berdasarkan kisah tersebut di atas dan uraian sebelumnya terlihat hubungan antara rakyat Bali, Pura, dan rasa bahagia. Bila ditarik benang merah maka diperoleh kesimpulan secara sederhana yang menyatakan Pura membawa rasa bahagia bagi rakyat Bali. Pura menjadi awal pijakan bagi rakyat Bali dalam melangkah untuk mendapat kebahagiaan hidup. Pura menjadi akhir dari langkah rakyat Bali dalam mempersembahkan kebahagiaan yang diperoleh bagi Sang Pencipta. Pura dan Pariwisata Pulau Bali yang merupakan satu dari sedikit tujuan pariwisata ternama di muka bumi ini. Terkenal karena keunikannya, perpaduan antara alam dan budayanya, tradisi dan agamanya, serta keramahan rakyatnya. Hal inilah yang selalu menarik wisatawan untuk datang mengunjunginya dan membedakan Bali dengan daerah lain yang sering menawarkan tempat / bangunan saja sebagai komuditas pariwisatanya seperti misalnya Jakarta dengan TMII, atau Jogja dengan Keraton, Jawa Tengah dengan Borobudur dan Prambanan, Jawa Timur dengan Batu, Sumatera Utara dengan Danau Toba, Kalimantan Barat dengan Tugu Khatulistiwa, Sumatera Selatan dengan Jembatan Ampera, dan lain-lainnya namun tanpa diwarnai dengan kesemarakan budaya rakyatnya. Hal inilah yang membuat Bali memiliki nilai lebih dibandingkan daerah lain dimata wisatawan umumnya dan wisatawan asing khususnya. Meskipun demikian, banyak juga wisatawan yang memang suka mengunjungi bangunan yang memiliki nilai sejarah atau bangunan yang unik dimata mereka, termasuk tempat ibadah. Candi Borobudur merupakan contoh bagaimana tempat bersejarah yang juga tempat ibadah umat Buddha ini sering dikunjungi wisatawan, menjadi obyek spiritual, hal ini telah lumrah terjadi. Tanpa perkecualian dan berbekal tiket masuk para wisatawan telah boleh merambah isi Candi Borobudur ke setiap lekukannya. Ada wisatawan yang datang untuk menikmati liburan dengan keluarganya, ada yang ingin mempelajari sejarah candinya, maupun hasil produksi penduduknya. Hanya pada hari tertentu Candi ini tidak dibuka untuk umum, tapi hanya bagi umat yang menjalankan prosesi upacara keagamaan, misalnya pada saat perayaan Waisak. Demikian pula dengan Candi Prambanan yang juga sering dikunjungi wisatawan, hanya pada perayaan Nyepi ditutup untuk umum, kecuali yang sedang melaksanakan prosesi Hari Raya Nyepi. Tempat bersejarah dan juga tempat suci ini telah menjadi obyek spiritual yang memberikan masukan bagi daerah dari tiket masuknya, dari pajak atas penjualan produk, dari transportasinya, dan lain-lainnya yang menjadi devisa yang cukup besar. Candi Borobudur dan Prambanan sebagai obyek spiritual setelah menjadi Cagar Budaya yang dilindungi UNESCO, sehingga perawatan tempat sejarah dan ibadah ini ada dibawah koordinasi pemerintah dan badan PBB tersebut. Hal ini tentu baik bila dilihat dari perawatan dan perbaikannya, karena dana untuk menjaganya relatif sangat besar yang cukup membebani pemerintah yang sedang menghadapi krisis apalagi saat bencana alam bertubi-tubi datang dua tahun terakhir ini, diawali oleh gempa dan ombak laut, lalu gunung meletus, banjir, longsor, kebakaran hutan, hingga lumpur panas yang tidak terkendali. Bantuan badan dunia untuk membantu menjaga keberadaannya tentu akan sangat membantu pemerintah. Tempat ini akan selalu dijaga agar awet dan menjadi pusat perlindungan budaya. Devisa terus mengalir dari wisatawan yang berkunjung juga dari pajak bagi pedagangnya. Demikian sisi positif menjadi Cagar Budaya/Obyek Spiritual. Lalu bagaimana dengan Pura? Bali berbeda dengan daerah lain dalam mengelola parawisata. Bali terkenal karena harmonisasi indah antara alam dan budaya rakyatnya, antara tradisi dan agama. Wisatawan datang ke Bali karena ini, bukan karena bangunan kokoh yang diam membisu, tapi karena adanya kehidupan yang menghidupkan bangunan kokoh tersebut. Kehidupan yang bagaimana? Kehidupan simbiosis mutualisme antara rakyat Bali dengan lingkungan alamnya, yang menciptakan suasana yang magis dan suci yang menyelimuti bangunan tersebut. Kita memang membutuhkan devisa dari sektor pariwisata ini, tapi hal ini tidak berarti kita membiarkan kesucian Pura kita terganggu. Ekonomi memang penting, tapi jangan sampai kebahagiaan yang telah kita miliki selama ini yang tercipta karena harmonisnya kehidupan tri hita karana menjadi sirna akibat silau pada sektor ekonomi dari pariwisata yang belum jelas akan bisa memberikan rasa bahagia seperti yang selama ini telah dirasakan rakyat Bali. Pura bukanlah tempat wisata, tapi lingkungan sekitar Pura yang selalu indah dan asri adalah tempat wisata. Orang-orang suci telah memilih lokasi membangun Pura di daerah atau lahan yang sangat baik dan sangat tepat, dan membangun lingkungan yang indah disekitarnya untuk semakin meningkatkan kekhusukan ibadah umat dalam mendekatkan diri pada Tuhan dengan segala manifestasi dan sinar suci NYA. Banyak Pura yang dibangun dengan keindahan panorama lingkungan laut di sekitar lokasi Pura seperti Pura Uluwatu, Pura Silayukti, Pura Candi Dasa, Pura Tanah Lot, Pura Goa Lawah, Pura Pojok Batu dan lainnya. Demikian pula halnya dengan Pura Ulundanu Batur, Pura Sakenan, Pura Tirtha Empul, Pura Candi Narmada dan lainnya yang ada di dekat danau atau sumber air. Lingkungan pegunungan yang indah juga banyak memperindah suasana kesucian Pura, seperti lingkungan di sekitar Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Batukaru, Pura Bukit Penulisan, Pura Andakasa, dan lainnya. Demikian indahnya lingkungan disekitar Pura yang membuat hati umatnya yang bersembahyang ke tempat suci tersebut menjadi bersih, tenteram, dan suci. Vibrasi yang tercipta pun semakin memberi kekhusukan dalam menyatukan diri dengan Tuhan. Peran Pramuwisata dan PHDI Jadi Pura tetaplah tempat ibadah yang hanya untuk mereka yang ingin beribadah. Wisatawan diijinkan untuk menikmati panorama indah disekitar Pura dengan catatan tidak melakukan hal-hal yang bisa mengganggu umat yang melaksanakan upacara keagamaan. Memang sering tampak beberapa turis masuk ke tempat suci dengan memakai pakaian adat untuk mengambil gambar suasana di dalam Pura, dan mereka sudah diantar pramuwisata, sehingga kehadirannya tidak mengganggu kekhusukan orang yang sedang beribadah dan kekhidmatan upacara yang sedang berlangsung. Peran pramuwisata sangatlah penting untuk memandu para wisatawan agar bisa menikmati panorama alam dan upacara yang sedang berlangsung tanpa mengganggu jalannya upacara. Banyak wisatawan yang baru datang ke Bali untuk pertama kalinya dari negara yang menjunjung tinggi kebebasan bahkan hingga kebebasan yang tak terbatas, sehingga bila tanpa peran pramuwisata yang baik bisa berakibat buruk. Tugas pramuwisata untuk memberikan kepada wisatawan pengertian tentang apa dan bagaimana jalannya upacara serta posisi dimana yang tidak mengganggu kekhusukan jalannya upacara. Hal ini biasanya hanya untuk wisatawan yang baru pertama kali berkunjung ke Bali, sedangkan bagi yang telah pernah atau sering ke Bali, hal-hal yang bersinggungan dengan sosio-religius rakyat Bali seperti ini telah mereka pahami dengan baik, apalagi bagi wisatawan yang berteman atau berkerabat dengan rakyat Bali. Malah sering tampak ada orang asing yang ikut duduk bersila dan sembahyang seperti umat Hindu yang sedang bersembahyang. Apakah ini salah? Tentu tidak, tidak ada salahnya orang beribadah menurut keyakinannya yang mereka anggap benar. Dan hal ini merupakan hak yang mereka bawa sejak mereka lahir. Merupakan peran pramuwisata untuk bisa mengawasi dan memandu tamu Bali ini agar antara mereka dan rakyat Bali dapat menjalankan kegiatannya tanpa ada yang merasa terganggu dan masing-masing dapat merasakan kebahagiaan atas harmonisasi indah yang tercipta dari vibrasi Pura. Ada lagi kekuatan yang memiliki peran sangat penting dalam hal ini, yaitu peran PHDI. Peran Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) adalah signifikan dalam konteks menjaga kesucian Pura khususnya dan keutuhan Bali umumnya. PHDI berperan sesuai dengan kewenangannya untuk membuat bhisama-bhisama yang mendukung kesucian Pura, karena kepercayaan rakyat Bali pada PHDI masih terjaga walaupun belakangan memang sedang menurun, tapi ini hanya bersifat sementara saja. Kepatuhan dan rasa hormat rakyat Bali pada para sulinggih tetap terjaga di tempat yang terhormat. Rakyat Bali akan menjunjung dan melaksanakan bhisama-bhisama yang dikeluarkan PHDI yang pasti untuk menjaga kesucian Pura khususnya dan menjaga keutuhan Bali pada yang menempatkan toleransi pada tempat yang terhormat pada kehidupan bermasyarakatnya. PHDI harus semakin peka dan tegas dalam menghadapi berbagai tantangan dan memecahkan berbagai masalah krusial yang timbul di masyarakat sesegera mungkin sehingga tidak merembet kemana-mana. PHDI sebagai majelis tertinggi agama Hindu yang terdiri atas para sulinggih dan orang suci, para cendikiawan dan tokoh masyarakat Hindu bila diibaratkan badan adalah kepala dengan pusat syaraf dan Guru Cakra didalamnya yang membuat pemikiran dan rencana yang baik bagi wadah ini, bagi badan ini, dan membimbing tangan dan kakinya untuk melakukan hal yang benar serta melangkah di jalan yang benar dalam menjaga kesucian Pura dan keutuhan Bali. Tangan dan kaki tersebut adalah kiprah generasi muda Hindu Bali saat ini dan ke depan nanti yang menjadi generasi penerus untuk melestarikan apa yang telah tercipta dengan baik saat ini. Apalah artinya bila hanya kepala saja yang kuat, tapi tangan dan kaki tidak berdaya? Bali membutuhkan kekuatan muda yang bisa menjaga kesucian Pura agar selalu tetap suci, menjaga keutuhan Bali agar selalu tetap utuh, menjaga budaya dan tradisinya agar wisatawan tetap berwisata ke Bali. Demikian besar tanggungjawab generasi muda Bali bagi Pura dan keajegan Bali. Sekaranglah saatnya generasi muda memegang peranan penting tersebut. Pura di Tangan Generasi Muda Bali Sejarah telah menunjukan bagaimana generasi pendahulu menjaga kesucian Pura dan keasrian lingkungan disekitarnya, sehingga menghasilkan perpaduan yang mengagumkan sampai saat ini. Semangat ini harus selalu dijaga oleh generasi muda Bali dalam setiap langkah kedepan. Pura bukan tempat yang angker yang hanya boleh dikunjungi pada saat Hari Raya saja, tapi bisa dikunjungi setiap hari seperti yang dilakukan pemuda anggota yoga yang tiap malam hari ke Pura untuk melaksanakan meditasi bersama. Hal ini dilakukan karena Pura memberikan vibrasi yang baik sekali dalam menghubungkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Begitu memasuki areal Pura dengan keyakinan kuat untuk bermeditasi, getaran itu akan sangat terasa. Apalagi setelah duduk mengambil sikap padmasana atau sidhasana, diteruskan dengan memejamkan mata, memusatkan pikiran pada ista cakra, dan merafalkan ista mantra dalam setiap tarikan nafas, maka kebahagiaan berhubungan dengan Tuhan akan terasa sekali faedahnya bermeditasi bersama di dalam Pura. Itu salah contoh bagaimana generasi muda Bali menjaga Puranya agar selalu hidup. Masih banyak lagi yang bisa dilakukan dalam menjaga Pura oleh generasi muda Bali agar selalu hidup. Kegiatan pembersihan lingkungan dan persembahyangan bersama di Pura setiap hari minggu bisa dilaksanakan, kegiatan ini biasanya dilaksanakan oleh mahasiswa Bali yang kuliah di Jawa terhadap keberadaan Pura di tempatnya menuntut ilmu. Kegiatan seperti ini membuat Pura selalu terjaga karena walaupun bukan hari penting keagamaan ataupun hari penting Pura, tapi mahasiswa Bali tetap melaksanakan acara ngayah dan persembahyangan bersama. Disamping itu kegiatan pertemuan untuk membahas program kerja generasi muda kedepan ataupun organisasi kepemudaan Hindu juga baik dilaksanakan di pelataran Pura, suasana Pura akan membuat pikiran yang baik datang dari segala penjuru alam, sehingga akan dapat membuat keputusan yang baik dan memberi manfaat. Kegiatan generasi muda yang dilakukan bersama-sama seperti ini akan semakin memupuk rasa kebersamaan, rasa solidaritas/kesetiakawanan sosial, dan rasa persatuan diantara generasi muda Hindu akan semakin kuat tercipta. Suasana kondusif yang baik bagi Bali dalam menghadapi era keterbukaan ke depan. Dengan demikian tujuan untuk menjaga kesucian Pura dan menjaga keutuhan Bali akan semakin terwujud. Pura ada ditangan generasi muda Hindu Bali, mau dibawa kemana tergantung dari derap langkah generasi mudanya. Bimbingan dari Para Sulinggih khususnya dan PHDI akan menanamkan nilai-nilai penting dalam menjaga kesucian Pura dan upacara keagamaan. Inilah yang penting, ditangan generasi muda Hindu Bali posisi Pura akan ditentukan, apakah Pura tetap sebagai Subyek Spiritual? Tempat suci untuk memuja NYA setiap saat, tempat untuk mengambil keputusan yang penting bagi kehidupan bermasyarakat di Bali atau Pura menjadi Obyek Spiritual yang didatangi pada saat Hari Raya dan ada upacara keagamaan saja, sedangkan kesehariannya dibuka untuk umum menjadi tempat kunjungan wisata? Generasi muda Hindu Bali yang akan datang menjadi kaki tangan yang kuat yang akan menentukan akan dibawa kemana Pura dan akan melangkah kemana Bali nantinya. Dan harapan Bali pastinya adalah derap langkah generasi muda Bali akan tetap menjaga agar generasi muda selalu berpegang teguh pada Tri Hita Karana dan selalu menjadikan Pura sebagai subyek spiritual. Pura antara Subyek dan Obyek Spritual Bila ditelusuri apa yang telah dibahas sebelumnya tentang arti penting Pura bagi Rakyat Bali, subyek spiritual, obyek spiritual/cagar budya, dan peran pemerintah, PHDI, serta generasi muda. Dapat di simpulkan bahwa Bali memiliki cara sendiri dalam menjaga kesucian Pura, menjaga keutuhan Bali, dan menjaga pariwisata Bali yang telah terkenal di dunia. Pura adalah tempat suci bagi rakyat Bali, baik itu Pura Kahyangan Desa meliputi Pura Desa/Puseh, Pura Bale Agung, dan Pura Dalem yang menjadi tanggungjawab warga desa dimana Pura tersebut berdiri, hingga Pura Kahyangan Jagad seperti Pura Agung Besakih, Pura Luhur Lempuyang, dan lain-lainnya yang tersebar di setiap ujung Pulau Dewata menjadi tanggungjawab seluruh umat Hindu untuk menjaganya dan menghidupkannya. Rasa tanggungjawab yang ada telah ditunjukkan selama ini oleh umat Hindu dengan terjun langsung dalam mengikuti karya agung di Pura, sehingga tidak hanya mengandalkan kerja Panitia. Warga secara bergilir ngayah ke Pura, menciptakan kerjasama yang cantik, mempersiapkan sarana prasarana untuk karya, dan seterusnya. Termasuk dalam penggalangan dana yang akan digunakan pelengkap jalannya upacara. Rakyat Bali telah biasa memberikan yang terbaik bagi Puranya, bagi susuhunannya. Tanpa melihat untung rugi atau banyak sedikitnya kerja atau berat ringannya beban, warga ngayah sesuai dengan apa yang bisa diberikan, apa yang bisa dikerjakan, karena yang utama adalah bagaimana memberikan yang terbaik bagi junjungannya. Jadi Pura adalah tanggungjawab umat Hindu dan akan selalu demikian. 

Keyakinan tersebut makin kuat terasa bila kegiatan dana punia yang merupakan pelengkap dan penyempurna dari persembahyangan yang telah dilakukan umat semakin banyak dilaksanakan. Dukungan dari media cetak, dalam hal ini Bali Post untuk membuka kotak amal bagi warga yang ingin berdanapunia ke Pura-Pura yang ada memberikan kemudahan bagi warga yang ingin memberikan dana punianya setiap saat tanpa menunggu hari upacara keagamaan di Pura-Pura tersebut. Hal ini bisa diawali dengan membuka kotak dana punia untuk Pura-Pura Kahyangan Jagad dulu, kemudian diikuti dengan Pura-Pura Luhur lainnnya. Sehingga dengan terus membuka tentang informasi keberadaan Pura-Pura lainnya, maka suatu saat nanti setiap Pura akan memiliki kotak dana punia Bali Post yang siap untuk dipakai untuk mendanai perawatan dan perbaikan Pura tersebut secara berkelanjutan. Disamping itu tentunya menjadi dana awal bagi pelaksanaan karya agung di Pura tersebut serta anggaran bagi kesejahteraan pemangku dan pengempon Pura tersebut. Bila semangat ngayah dan dana punia warga Hindu ini terus dipertahankan dan ditingkatkan, terutama oleh generasi muda Hindu Bali yang akan menjadi generasi penerus dalam menjaga kesucian Pura dan keutuhan Bali, maka Bali masih bisa menjaga agar Pura tetap menjadi subyek spiritual bagi kehidupan sosial budaya rakyat Bali, tidak perlu menjadi Cagar Budaya dan Obyek spiritual demi mendapat devisa, seperti halnya yang terjadi pada Candi Borobudur dan Prambanan serta beberapa tempat ibadah umat lainnya di negeri ini juga di luar negeri. Pura tetaplah tempat suci dan bernilai penting bagi umat Hindu dalam menghubungkan dirinya dengan Tuhan, tempat berinteraksi masyarakat dengan sesamanya, dan tempat untuk menjaga lingkungan hidup. Pemanfaatan Cagar Budaya bagi Bali Bangunan bersejarah di Bali tidak hanya berupa Pura saja, masih banyak bangunan bersejarah di Bali yang berbentuk taman, museum, puri, dan lain-lainnya. Bangunan bersejarah ini yang memang sebaiknya menjadi Cagar Budaya, karena kawasannya yang relatif luas dan anggaran perawatan dan perbaikannya dibebankan pada pemerintah. Taman Ujung/Soekasada, Taman Tirta Gangga, Taman Ayun, Taman Kerta Gosa, Museum Bali, Museum Subak, dan lainnya merupakan contoh tempat yang pantas untuk menjadi Cagar Budaya. Dengan menjadi Cagar Budaya maka kelestarian tempat ini dapat dijaga, dan beban anggran pemerintah dapat dialihkan ke hal lainnya yang lebih bersentuhan dengan kesejahteraan masyarakat Bali. Cagar Budaya bagi tempat-tempat wisata bernilai sejarah ini akan membuat nilai penting dalam sejarah perkembangan Bali dapat terjaga. Cagar Budaya akan membuat lingkungan Bali disekitar tempat bersejarah seperti itu yang tersebar di seluruh pelosok Bali terjaga keasriannya. Alam yang asri dan indah yang menyelimuti lokasi wisata akan memberikan angin segar bagi warga Bali untuk selalu segar dan semangat dalam bekerja dan beribadah. Alam yang asri juga membuat masyarakat di sekitar obyek wisata dapat membuka usaha baru yang mendukung obyek wisata tersebut seperti menjual cinderamata khas dari daerahnya dengan dikoordinir koperasi atau pemerintah daerah. Alam yang asri di Cagar Budaya ini membuat wisatawan juga senang untuk mengunjunginya guna melepaskan kepenatan bekerja selama berhari-hari sebelumnya. Disamping manfaat bagi warga sekitar Cagar Budaya yang langsung diterima, berupa kesegaran dan sumber penghasilan tambahan, juga menjaga nilai-nilai sejarah perkembangan Bali, serta pastinya memberi devisa bagi negara. Dengan demikian cagar budaya yang terarah pada tempat atau bangunan bersejarah yang memang pantas menjadi obyek wisata akan memberi manfaat bagi warga Bali. Sedangkan untuk Pura tetaplah diposisikan sebagai Subyek Spiritual bagi rakyat Bali yang memegang teguh tri hita karana. Memposisikan Pura sebagai subyek spiritual akan membawa kebahagiaan bagi Bali. Penutup Bali adalah Pulau Kahyangan, Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, dan banyak lagi sebutannya. Pura adalah tempat suci agama Hindu, tempat beribadah umat Hindu terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam penjawantahan Tri Hita Karana pada kehidupan sehari-hari, tempat untuk menjaga keharmonisan, keserasian, dan keselarasan dengan lingkungan hidup/alam habitat, dan tempat berinteraksi sesama manusia agar pikiran yang baik datang dari segala penjuru. 

Pura adalah tempat paling baik bagi umat Hindu berkomunikasi dengan Tuhan yang dimuliakannya, suasana Pura yang suci dan indah membuat pikiran, jiwa dan raga pun menjadi suci, dengan demikian telah siap untuk menghadp pada NYA dan adalah tanggungjawab rakyat Bali untuk menjaga kesuciannya, menjaganya agar selalu menjadi subyek spiritual. Pura bukanlah tempat wisata tapi tempat ibadah bagi umat Hindu, sedangkan keindahan dan keasrian panorama lingkungan di sekitar tempat suci tersebut serta perpaduan alam dengan budaya Bali yang terjadi adalah obyek wisata bagi wisatawan. Simbiosis mutualisma yang akan memberi manfaat bagi semua pihak. Disatu sisi rakyat Bali tetap merasakan kebahagiaan dapat berhubungan dengan Tuhan junjungannya di tempat yang disucikan tanpa merasa terganggu oleh keberadaan wisatawan yang telah dipandu pramuwisata, di sisi lain para wisatawan dapat memperoleh kebahagiaan menikmati keindahan panorama alam di sekitar Pura dan perpaduan yang harmonis antara Pura, alam, dan umat Hindu dalam menjalankan tri hita karana. Devisa bagi pemerintah pun dapat mengalir dari sini tanpa mengusik kebahagiaan yang telah tercipta, disamping dari bangunan bersejarah lainnya yang menjadi obyek wisata andalan Bali lainnya. Merupakan tugas segenap rakyat Bali khususnya generasi muda Hindu untuk menjaga keharmonisan ini. Tetap menjaga kesucian Pura sebagai subyek spiritual, tetap menjaga keutuhan Bali yang kuat dengan toleransinya, dan tetap menjaga agar Bali tetap menjadi tempat tujuan / obyek wisata primadona bagi wisatawan. Peningkatan peran serta masyarakat dalam penggalian dana untuk perawatan dan perbaikan Pura setiap saat melalui dana punia perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Fasilitas yang memudahkan untuk itu melalui dukungan media cetak yang dikoordinasi Bali Post misalnya dengan membuka kotak dana punia untuk tiap Pura akan membantu masyarakat dalam memberikan dana punia yang besar artinya bagi kelestarian Pura. 

Demikian opini penulis yang mungkin masih ada kekeliruan disana-sini untuk itu penulis mohon maaf sebesar-besarnya. Dengan mengutip kata-kata indah dari BABA, penulis berharap tulisan ini memberi manfaat bagi kita semua. “Anda tidak sendirian atau tidak berdaya, kekuatan yang menuntun bintang di langit, menuntun anda juga”. 

Penulis, pemerhati masalah sosial, anggota Ananda Marga Yoga, dan pengajar di Politeknik Negeri Bali, warga Dukuh Segening Serongga Kelod



No comments: